GIANYAR – Pengusaha batu paras di kawasan Ubud, Gianyar mulai kelimpungan belakangan ini, karena melimpahnya stok tidak diimbangi dengan lancarnya penjualan. Dampak dari macetnya penjualan, pengusaha tidak bisa membayar upah karyawan. Kondisi itu diakui Lenju Kertawangi, pengusaha paras asal Banjar Glogor, Lodtunduh, Ubud.
Dia menuturkan, stok paras sangat melimpah; di setiap tempat menaruh paras penuh, nyaris tak ada tempat untuk menaruhnya lagi. Di sisi lain, karyawan terus bekerja, sehingga stok paras makin menumpuk. “Selama pandemi ini stok paras menumpuk. Kalau bisa menjerit mungkin saya sudah menjerit, karena nyaris tidak ada pemasukan,” keluhnya, Senin (14/3/2022).
Dia mengungkapkan, dalam situasi normal mempekerjakan 10 karyawan, tapi sekarang tinggal lima orang saja karena dirumahkan. Dan, yang masih bekerja pun upahnya belum bisa dibayar. “Kalau ada penjualan, baru saya bisa bayar ongkos karyawan,” jelasnya bernada lesu.
Lenju berharap pemerintah ikut memperhatikan nasib pengusaha paras. Paling tidak dalam pembangunan gedung pemerintah, bahan lokal seperti paras ikut dimanfaatkan.
Dia menyesalkan saat ini proyek pemerintah justru menggunakan bahan dari luar daerah. “Pengusaha paras di Gianyar menjerit, tapi pengusaha dari luar Bali justru mendapat untung karena parasnya digunakan,” tudingnya.
Kondisi itu sangat disayangkan, karena mestinya pemerintah mendukung pengusaha lokal dengan memanfaatkan produknya. Tapi ini justru sebaliknya, produk luar daerah yang digunakan. “Seperti pembangunan Pasar Rakyat Gianyar, bahan yang digunakan bukan paras lokal, tetapi justru paras yogya,” sergahnya dengan nada kesal.
Untuk itu, kader PDIP ini mengharap dalam pembangunan gedung-gedung, terutama di wilayah Gianyar, agar menggunakan material lokal. Dia menjamin batu paras lokal tidak kalah dengan paras luar daerah.
Menurutnya, paras Bali kalau disandingkan dengan bata, bangunan itu akan kelihatan lebih metaksu (berwibawa). “Bukan karena saya pengusaha paras ya, tetapi kenyataannya memang seperti itu,” simpulnya. adi