PARTAI Golkar Bali kembali menjadi magnet bagi parpol di Bali, terutama yang perolehan suaranya minor di parlemen daerah. Pentolan Hanura, Nasdem, Demokrat, dan PSI berkumpul di kantor DPD Partai Golkar Bali untuk membincang peluang berkoalisi pada Pilkada Serentak 2020, Jumat (13/3/2020) lalu. Meski belum ada kesepakatan tertulis akan bersama dalam satu gerbong, mereka jelas sedang berusaha menunjukkan satu hal: menantang dominasi PDIP sebagai penguasa di Bali.
Sebagai hajatan politik, tentu ada sejumlah hal yang layak diulik dari acara itu. Dalam hal ini aspek komunikasi, khususnya tentang sound bite, menarik dikupas. Menurut Lilleker (2005) sound bite adalah satu garis kalimat dari pernyataan panjang atau teks, yang dapat dipakai media untuk mendefinisikan pesan yang lebih besar. Berhubung belum ada koalisi beneran, Ketua DPD Partai Golkar Bali, Nyoman Sugawa Korry, sebagai juru bicara dan tuan rumah menggunakan diksi pimpinan parpol yang hadir memiliki komitmen dan “setuju untuk membangun koalisi solid”. Kalimat ini jelas bersayap agar jika kelak koalisi urung terbentuk, tidak ada pihak yang perlu kehilangan muka.
Berikutnya tersaji dramaturgi dengan adanya pernyataan bahwa pertemuan itu untuk tingkat provinsi. Jika sudah ada koalisi sama, maka di provinsi tinggal melanjutkan. Dengan lain ucap masih sangat terbuka dan cair peluang masing-masing parpol tidak seiiring sejalan di tingkat kabupaten/kota, karena proses dan mekanisme berbeda di tiap parpol.
Sampai di sini saja terlihat sedikitnya tiga hal. Pertama, Sugawa seperti hendak memperlihatkan dia mampu memainkan irama yang sebelumnya lihai ditarikan seniornya, Gde Sumarjaya Linggih alias Demer. Dari obrolan dengan sejumlah kader Golkar, terselip nada keraguan mereka terkait kapabilitas Sugawa memimpin partai. Memang ketika sebagai Sekretaris DPD Partai Golkar Bali dia dapat memposisikan diri sebagai komunikator partai yang cekatan, tapi tidak lebih dari itu. Sebab, dia bukan operator langsung. Kini, membuat undangannya menjajaki koalisi diterima empat parpol, rasanya cukup sebagai sinyal dia punya kemampuan, selain komunikator, juga negosiator yang baik.
Kedua, membuat pertemuan lintas partai itu, Golkar secara halus “memaksa” media untuk datang. Meski suaranya tidak besar-besar amat, tapi ke mana Golkar berpaling tetap akan menjadi titik menentukan bagi siapapun di pilkada. Di posisi itu, media dibuat “merasa sayang” jika melewatkan momentum yang diinisiai Golkar itu.
Ketiga, parpol minoritas lain yang jarang diekspos media arus utama, juga kebagian panggung. Lihat saja kuantitas pemberitaan terkait Demokrat, Hanura atau PSI, porsinya sangat kecil. Dengan memenuhi panggilan Golkar, yang mengundang dan diundang sama-sama diuntungkan secara politis dari aspek komunikasi massa.
Di luar kepastian apakah kelima parpol akan benar-benar koalisi, pertemuan itu tetap patut diapresiasi. Selama ini ada kekhawatiran sejumlah pihak di Bali akan muncul paslon tunggal di daerah tertentu, dan itu dinilai tidak baik bagi demokratisasi. Jika sampai ada paslon, menurut Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Lidartawan, itu sepenuhnya tanggung jawab parpol sekaligus bukti kegagalan parpol mencetak calon pemimpin.
“Ini bentuk tanggung jawab kami, karena kalau tidak ya tidak menjalankan fungsi parpol. Tidak cukup mampu mengusung calon sendiri, ya koalisi,” cetus Sekretaris DPD Partai Demokrat Bali, Wayan Adnyana. Disimak lebih jauh, ungkapan itu manifestasi pengakuan baik dan buruk kualitas demokrasi diampu oleh parpol. Pun wujud kesadaran bahwa pilkada tidak sekadar urusan menang atau kalah, melainkan juga memberi edukasi politik ke publik.
Pernyataan Sugawa bahwa penjajakan koalisi juga sebagai jalan agar jangan sampai ada kotak kosong, mengisyaratkan kesadarannya tentang signifikansi menghadirkan penantang bagi petahana, yang kebetulan saat ini mayoritas diisi kader PDIP. Bila memandang pilkada sebagai siklus politik, apa yang tidak laku “dijual” hari ini bukan berarti tidak laku untuk empat atau lima tahun mendatang. Susilo Bambang Yudhoyono gagal menjadi Wapres untuk Megawati Sukarnoputri tahun 2001, tapi malah melejit menjadi bintang saat Pilpres 2004. Dan, lawannya adalah Megawati yang berstatus Presiden petahana.
Hal menarik lain dari anjangsana politik itu adalah bagaimana para peserta sangat berhati-hati menata artikulasi bahasa soal alasan tidak turut mengajak PDIP. Kondisi ini kontradiksi dengan pengakuan mereka bahwa komunikasi dibuka untuk siapa saja. “Saya rasa kami tidak etis mengundang,” kilah Sugawa. “PDIP partai yang lebih besar dari kami, tidak bagus kalau kami mengundang,” sambungnya. “PDIP tanpa yang lain bisa maju sendiri. Apa perlu kami? Saya rasa tidak,” imbuh Wayan Adnyana, Sekretaris DPD Partai Demokrat Bali.
Masih ada pertemuan lanjutan untuk embiro koalisi lima parpol itu, bahkan bisa bertambah lagi, karena pertemuan selanjutnya diagendakan di kantor Demokrat. Apakah koalisi betul terjadi atau akan layu sebelum berkembang, semua kembali ke kepentingan masing-masing parpol. Namun, yang pasti yakni mereka bersemangat untuk menjajal koalisi demi menjungkalkan PDIP sebagai partai dominasi. Gus Hendra