Mengumbar Konflik Nasdem di Sidang DKPP

Gus Hendra
Gus Hendra

BERDEBAT sengit, unjuk pasal demi pasal, saling ungkap bukti. Asosiasi yang galibnya semacam itu dalam sidang, dengan hakim sebagai wasit atau pengadil, mendadak runtuh ketika menonton sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) secara virtual dengan teradu KPU Bali dan Bawaslu Bali, Senin (2/8/2021). Suasana sidang selama 2,5 jam itu bisa digambarkan sebagai “menggelikan, aduan tidak nyambung, dan mengumbar konflik rumah tangga Partai Nasdem ke ruang publik”.

Dalam sidang dipimpin hakim Alfitra Salamm itu, Ketut Adi Gunawan selaku pengadu dengan para teradu adalah para komisioner KPU Bali dan para komisioner Bawaslu Bali. Dua lembaga penyelenggara pemilu itu diadukan tidak profesional memproses dugaan pelanggaran laporan dana kampanye caleg Partai Nasdem, Dr. Somvir, yang ditulis nol. Argumennya, baliho dan alat peraga kampanye Somvir bertebaran di Dapil Buleleng, sehingga mustahil dana kampanye nol.

Bacaan Lainnya

Jauh panggang dari api, bayangan bahwa KPU dan Bawaslu Bali berdebat sengit dengan pengadu dan para saksi tidak terjadi sama sekali. Selama persidangan, “kesibukan” komisioner KPU Bali dipimpin I Dewa Agung Gede Lidartawan hanya satu: sebagai penonton. Kondisi serupa dialami Bawaslu Bali yang dinakhodai Ketut Ariyani, dengan Kordiv Pelanggaran, I Wayan Wirka, yang sebelumnya berprofesi sebagai advokat, sesekali menginterupsi persoalan teknis yuridis formal dan materiil saat pengadu dan saksi memberi keterangan.

Baca juga :  PIALA SOERATIN: Dihadiahi 2 Kartu Merah, Iringi Kekalahan Bali Lawan DKI

Selama sidang, pengadu lebih banyak membeber kesaksian yang menggiring kepada asosiasi Somvir, anggota Komisi I DPRD Bali, melakukan politik uang. Somvir, menurut saksi, minta dicarikan suara dengan harga Rp100 ribu per kepala. Somvir juga disebut berkata Pura Besakih dibangun orang India, karena itu kenapa tidak memilih dia yang orang India untuk menjadi anggota DPRD Bali? (Menurut Babad Bali, Pura Besakih dibangun Rsi Markandeya yang merupakan keturunan India pada tahun 1284 Masehi). Hanya, ketika Somvir bicara itu, yang menyimak dilarang pegang ponsel untuk merekam.

“Saya tidak senang ada pejabat bohong di Bali. Kalau saya bohong, biar saya disambar petir,” kata saksi dengan ekspresi marah.

Sidang DKPP turut dimanfaatkan Somvir untuk balas menuding para pengadu adalah orang suruhan. Yang menyuruh, ucapnya, tidak terima kalah jumlah suara yang berakibat gagal melenggang ke DPRD Bali. Meski tidak menyebut spesifik, pernyataan itu ditujukan kepada caleg Nasdem yang perolehan suaranya di bawah Somvir.

Realitas ini sebentuk sebangun dengan membuka aib partai sendiri ke ranah publik, yang juga bermakna sidang DKPP itu tak lebih dari perang terbuka konflik internal Partai Nasdem. Dan, peristiwa ini pula dapat dimaknai sekurang-kurangnya dalam tiga hal.

Pertama, politik transaksional belum bisa dikikis dari pemilih dan politisi. Dalam sidang DKPP itu, baik secara eksplisit atau implisit, Somvir tidak membantah pernyataan saksi terkait uang Rp100 ribu untuk satu suara yang diminta. Apalagi saksi detail menyebut waktu dan tempat transaksi politik itu, meski bukti fisik uangnya tidak ada. Politik uang, kecuali benar-benar sial, itu seperti kentut: baunya tercium tapi wujudnya tidak kelihatan.

Baca juga :  Bawaslu Tabanan Dorong Keaktifan Masyarakat Awasi Pemilu

Kedua, tidak nyambung antara pokok perkara tidak profesionalnya KPU Bali dan Bawaslu Bali menangani aduan pengadu, dengan materi kesaksian dan keterangan pihak terkait. Pengadu yang mestinya fokus kepada bukti buruknya kinerja lembaga penyelenggara pemilu, justru lebih asyik menyerang pribadi Somvir; suatu pertunjukan yang sesungguhnya menyingkap apa motif sejati pengaduan ke DKPP. Sikap kalem para teradu selama mengikuti sidang, secara semiosis, menunjukkan mereka sangat percaya diri sudah sesuai prosedur. Atau bisa juga sebagai penanda rasa bosan melihat dagelan konflik internal Nasdem yang dipertontonkan di ruang publik.  

Ketiga, sidang ini menunjukkan lemahnya kuasa partai dalam mendisiplinkan internal. Pernyataan Somvir bahwa ada perang politik di internal caleg Nasdem di balik sidang DKPP ini, seyogianya disikapi segera elite Nasdem dengan tegas kepada kader dimaksud. Carl von Clausewitz, jenderal dari Kerajaan Prusia, Jerman menyebut bahwa “perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain”.  Dengan perang internal ini, aktor intelektualnya berharap tujuan politiknya tercapai.

Bila sidang DKPP itu dijadikan medium menelanjangi borok politik uang yang dilakukan Somvir, tapi yang paling dirugikan sejatinya adalah Nasdem. Apalagi Nasdem memiliki tagline “Restorasi Indonesia”. Tentu ironis bukan, bagaimana mampu merestorasi Indonesia jika merestorasi internal partainya saja belepotan?

Politik itu adalah seni segala kemungkinan, begitu kata Otto von Bismarck, kanselir pertama Kekaisaran Jerman abad 19. Sementara pemikir Italia abad 16, Niccolo Machiavelli, menganjurkan agar tindakan politik dipisahkan dari moral, dan pertimbangan utama dalam berpolitik adalah efisiensi atau keuntungan politik. Jika pendapat keduanya digabung, memindahkan konflik internal Nasdem ke sidang DKPP itu adalah bagian seni segala kemungkinan, meski terlihat menapis moral demi syahwat politik. Memang, selalu berpijak dengan moral dalam berpolitik jelas sesuatu yang naif, tetapi menganggap moral tidak diperlukan sama sekali nampaknya terbilang sebagai budak kekuasaan. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.