POSMERDEKA.COM, MATARAM – Kasus pidana anak yang saat ini makin marak di wilayah Provinsi NTB melahirkan keprihatinan di masyarakat. Sepanjang tahun 2024 lalu, Polresta Mataram menangani 115 kasus perempuan dan anak.
Ketua Komisi V DPRD NTB, Lalu Sudiartawan, mengatakan, kasus hukum yang melibatkan pelajar itu terdiri dari kasus narkoba, perkelahian, pelanggaran ITE, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Banyaknya persoalan hukum pada anak di NTB ini tentu memerlukan perhatian bersama. Kita enggak bisa lepas tangan, harus menjadikannya perhatian kita secara bersama-sama,” ujarnya, Senin (27/1/2025).
Sudiartawan berujar, data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. Pada 2020 dan 2021, angka anak tersandung kasus hukum 1.700-an, tahun berikutnya meningkat menjadi 1.800-an.
Per 26 Agustus 2023 tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana.
“Meningkatnya kasus pelanggaran hukum yang dilakukan anak dengan beragam kasus yang menyertainya, menjadi keprihatinan dan pekerjaan rumah yang harus kita tuntaskan di tahun 2025 ini,” sambung politisi Gerindra itu.
Dia mendaku akan membahas lebih lanjut masalah hukum yang melibatkan pelajar dan anak-anak dengan stakeholder terkait. Para kepala sekolah dan pihak terkait lain akan diajak membahas persoalan ini.
“Kami akan segera mengambil langkah konkret, mereka ini generasi penerus kita. OPD terkait hingga tokoh agama dan tokoh masyarakat harus bersama-sama terlibat mengurai kasus ini, dengan sama-sama bergerak melakukan edukasi pada anak,” paparnya.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Satreskrim Polresta Mataram, Iptu Eko Ari Prastya, menambahkan, selain KDRT, kasus terbanyak yang ditangani, selain pelecehan seksual dan pencabulan, adalah tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
“Yang mendominasi itu masalah KDRT, untuk pelecehan terhadap anak tidak seberapa, mungkin hanya 35 persen. Yang mendominasi adalah penganiayaan KDRT,” bebernya.
Menurut Eko, tidak semua kasus dapat diselesaikan sampai ke meja persidangan. Selain itu, ada juga kasus yang dicabut pelapor yang berujung pada perdamaian dengan keadilan restoratif (restorative justice). Kasus yang paling banyak dengan keadilan restoratif adalah KDRT.
Eko tak bisa mengungkap ada atau tidaknya peningkatan kasus pada 2024 dibandingkan 2023. Alasannya, dia baru menjabat sebagai Kanit PPA Satreskrim Polresta Mataram pada pertengahan tahun lalu. “Mohon waktu biar tidak salah data penanganan dari tahun 2023-2024,” jawabnya.
Di sisi lain, Eko mengeklaim Unit PPA Satreskrim Polresta Mataram intens melakukan sosialisasi serta imbauan kepada masyarakat hingga ke tingkat kelurahan. Langkah preventif ini untuk memberi pemahaman terkait kekerasan seksual dan KDRT.
“Kami sosialisasi ke desa-desa dan undangan dengan BP2A serta sejumlah stakeholder yang ada. Selain itu, kami juga melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah,” tandasnya. rul