DENPASAR – Demer, nama panggilan akrab Koordinator Bapilu Partai Golkar, I Gde Sumarjaya Linggih, menjadi sosok yang dituding bertanggung jawab atas “berubahnya” peta politik Partai Golkar di Pilkada Badung. Diunggulkan sebagai penantang Giriasa sebagai petahana dengan paket Diatmika-Muntra, Golkar malah buang badan bergabung ke penguasa. Situasi ini yang melahirkan paslon versus kotak kosong, plus dianggap mematikan demokrasi di Badung. Bagaimana pergulatan dan kisah di panggung belakang perubahan sikap Golkar itu, berikut petikan wawancara Gus Hendra, wartawan posmerdeka.com dengan Demer, Senin (31/8/2020).
Diatmika-Muntra produk KRBB dengan Golkar Badung di dalamnya, kenapa dipangkas di elite DPP?
- Saya mau tanya, yang mendorong Diatmika-Muntra maju itu beneran Golkar Badung atau pihak lain? Apa pernah Pak Suyasa (Ketua DPD Golkar Badung) diajak bicara soal itu sebelumnya? Kami di DPP tidak pernah diajak bicara sebelumnya dengan rekan-rekan di Badung dan di Bali. Suyasa itu sesungguhnya tahu kondisi di lapangan, tapi dia tidak berbuat apa-apa juga. Sebab, itu akan benturan dengan sikap DPD I dan pendukung di bawah yang ingin menantang petahana.
Kenapa tidak saat berproses saja dihentikan? Kenapa menunggu sampai jadi paket baru dimentahkan begitu?
- Bagaimana kami mau menghentikan kalau mereka tidak koordinasi ke kami? Tiba-tiba sudah ada calon, padahal belum jelas hasil surveinya bagaimana. Ya, kami harus berhitung juga dong bagaimana dampak dari keputusan itu terhadap keadaan partai ke depan.
Sikap Golkar meninggalkan Nasdem dan Gerindra di KRBB sepertinya tidak etis, bagaimana Anda melihat itu?
- Sekarang saya mau tanya, komitmen koalisi itu ada di DPP atau DPD? Komitmen itu ditentukan di pusat, bukan di daerah. Buktinya Demokrat di Badung gabung ke petahana, meninggalkan koalisi yang dibuat di provinsi. Lalu sanksinya apa untuk mereka? Tidak ada, karena memang keputusan apakah mereka melanggar aturan partai atau tidak itu ditentukan di pusat, di DPP.
Sepertinya keputusan DPP sangat elitis, tidak memakai nurani dan etika, hanya urusan kekuasaan?
- DPP itu melihat gambaran besarnya, tidak hanya lingkup kecil Badung. Apa yang diputuskan hari ini berpengaruh terhadap langkah partai 5 sampai 10 tahun lagi. Partai harus eksis, dan untuk eksis harus berkuasa. Ingat, partai itu tujuannya kekuasaan. Ketika peluang berkuasa tidak ada, ya jangan memaksakan diri melawan penguasa.
Karena DPP yang menentukan, mengapa Ketua Umum Airlangga Hartarto bersedia menemui Diatmika-Muntra? Bukankah itu semacam restu kepada mereka?
- Begini, agar diketahui, kebiasaan di Golkar itu adalah Ketua Umum tidak akan bertemu bakal calon yang belum direkomendasi partai. Pertemuan Pak Airlangga dengan Diatmika-Muntra itu di luar jadwal resmi. DPD I yang mengajak ke sana. Saya saja pengurus DPP tidak dikabari awalnya sampai kemudian ajudan Pak Airlangga menelepon. Etikanya saya sebagai pengurus DPP kan dikabarilah kalau ada pertemuan. Pertemuan itu kan tidak menjamin mereka dapat rekomendasi juga.
Anda disebut-sebut ada masalah dengan Sugawa Korry, apa masalahnya?
- Ohhh, nggak, nggak ada masalah pribadi. Cuma kemarin kurang koordinasi saja terkait penentuan calon di Badung. Mbok ya kami diajak ngomong sejak awal, jangan kesannya seperti dipaksa setuju dengan keinginan pengurus di Bali. Tidak ada masalah di luar itu.
Ada isu KRBB dibiarkan berproses supaya Golkar ada posisi tawar dengan petahana, setelah itu paketnya ditinggal. Bagaimana menurut Anda?
- Seperti saya bilang tadi, kami di DPP tidak diajak koordinasi untuk pembentukan KRBB itu. Mereka jalan-jalan sendiri. Padahal berpolitik kan tidak bisa begitu. Kalau lawannya kuat sekali, ya jangan dilawan dulu. Ajak berteman. Kalau kita perang terus tapi tidak pernah menang, kan capek juga jadinya.
Ada isu juga bahwa Anda disuap untuk mengubah rekomendasi. Bagaimana tanggapan Anda?
- Hahahaha, asal tahu saja, kalau hanya untuk makan dan mengurus anak, saya masih cukup. Masih ada warisan orangtua juga. Sekarang saya Wakil Ketua Komisi VI, dihormati lebih dari anggota komisi. Kalau dengan penghormatan begitu, masa saya harus korbankan dengan uang senilai tertentu? Nggaklah, saya tidak seperti itu. Apa yang saya lakukan ini demi partai, tidak ada urusan lain.
Jika benar tujuan DPP untuk kepentingan lebih besar, kenapa kader tidak dilibatkan sejak awal?
- Kita ini seperti tentara, tidak semua strategi dibahas jenderal dengan prajuritnya, ada hal-hal tertentu itu rahasia. Prajurit tahunya apa perintah jenderal. Sebab, bisa jadi ada yang harus dikorbankan di titik ini, untuk mencapai kemenangan di titik itu. (Demer bercerita cukup detail, tapi dia minta off the record).
Tidak khawatir keputusan DPP ini mengecewakan kader di Badung?
- Kita jangan hanya melihat Badung, lihat juga konteks Bali dan nasional. Kalau misalnya Golkar ngotot mencalonkan, kemudian ditinggal koalisi lain, Golkar mau ngapain? Kalau dalam kondisi begini mau jual-beli rekomendasi itu murah kok untuk ukuran di Badung. Ingat, politik itu dinamis karena yang menyatukan kita itu adalah persamaan kepentingan.
- Selain itu, kalau Golkar kalah terus, secara psikologis nanti kader lari ke tempat lain. Sebab, Golkar itu biasa berkuasa. Ketika lama tidak berkuasa, nanti akan cari penguasa. Ini harus dijaga supaya loyalitas kader tetap di Golkar. Apalagi dalam situasi sekarang, merawat mereka itu juga perlu ongkos. Justru apa kami lakukan demi partai, ini bukan maunya Demer. Ini demi partai. Bedakan jangkauan antara pemikiran elite dengan kader di bawah.
DPP beralasan hasil survei menunjukkan petahana sulit dikalahkan, kenapa tidak dibuka ke kader?
- Ooo hasil survei memang tidak dipublikasikan, itu cukup kami yang tahu sebagai bahan pertimbangan. Yang jelas Diatmika-Muntra jauh popularitasnya di bawah Giriasa, belum elektabilitasnya. Kalau sudah begitu, kenapa dipaksa kader kita dibentur-benturkan dengan penguasa? Kasihan mereka padahal kita tahu bakal kalah
Untuk sementara waktu Anda akan diposisikan sebagai pengkhianat aspirasi rakyat Badung, dan membuat demokrasi di Badung mati. Bagaimana menurut Anda?
- Tidak masalah, saya tahu itu. Perlu dipahami, demokrasi itu bukan hanya soal ada pihak yang bertanding atau berhadapan. Musyawarah mufakat seperti yang kami lakukan ini (dengan bergabung ke Giriasa) kan demokrasi juga namanya, jadi matinya demokrasi itu di mana? Di media sosial saya dihujat ini itu. Tapi mereka kan tidak paham bagaimana gambaran besarnya, apa yang partai ini ingin peroleh dan lakukan. Karena belum paham itu mereka menghujat. Tapi sekali lagi tidak masalah. Kebenaran itu bergantung ruang dan waktu. Sekarang saya dianggap dianggap salah, bisa saja lain kali dianggap benar. Yang jelas, demi kebesaran partai, saya siap dihujat. (*)