DENPASAR – Saking semangat saat berkampanye politik, terkadang seseorang tak sadar ucapannya dapat mengadu domba kelompok masyarakat. Dan, kampanye berisi hasutan, fitnah, dan adu domba termasuk bentuk pelanggaran kampanye. Hal itu disampaikan Kordiv Hukum, Humas, dan Duta Informasi Bawaslu Bali, I Ketut Rudia, Minggu (27/9/2020).
Rudia menyampaikan ada beberapa jenis pelanggaran dalam tahapan kampanye. Merujuk UU Nomor 10/2016, setiap orang dengan sengaja berkampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba parpol, perseorangan, dan atau kelompok masyarakat diancam sanksi pidana. “Untuk pelanggaran itu ancamannya pidana penjara paling singkat tiga bulan atau paling lama 18 bulan,” sebutnya.
Pelanggaran lain, yang lebih besar potensinya dilakukan petahana, yakni menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah dalam kampanye. Meski termasuk pidana, tapi sanksinya tidak berat-berat amat, hanya diancam dengan hukuman penjara paling lama enam bulan dan atau denda paling sedikit Rp 100 ribu dan maksimal Rp 1 juta. Ancaman hukuman bagi yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, dan atau mengganggu jalannya kampanye justru lebih berat, yakni penjara paling singkat satu bulan dan atau denda paling sedikit Rp 600 ribu dan maksimal Rp 6 juta.
Memastikan tidak ada kekerasan, UU tersebut juga melarang penggunaan kekerasan, ancaman kekerasan, atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat, dan atau parpol dalam kampanye. Ancamannya pidana penjara paling singkat tiga bulan dan paling lama 18 bulan. Hanya, dalam UU tidak disebut rinci kekerasan apa saja yang dimaksud.
Terkait penjelasan kekerasan itu, Rudia berkata yang paling mudah dilihat dan dibuktikan adalah kekerasan fisik. “Memang di aturan tidak disebut secara rigid, hanya secara umum. Sejauh ini yang lazim ditemukan itu kekerasan fisik,” cetus mantan jurnalis tersebut.
Disinggung kekerasan apakah kekerasan tak langsung seperti kekerasan struktural, kekerasan budaya dan kekerasan simbolik masuk kategori pelanggaran, Rudia sempat terdiam sejenak. Menurutnya, siapa saja bisa melapor jika merasa diancam kekerasan. Nanti Bawaslu akan mempelajari apakah unsur peristiwa kekerasan itu terpenuhi atau tidak. Untuk memastikan itu, bila perlu Bawaslu akan minta keterangan ahli, misalnya ahli bahasa jika kekerasan dimaksud itu kekerasan simbolik.
“Kalau memang masuk dugaan pidana pemilu, ya langsung 1×24 jam masuk Sentra Gakkumdu mendampingi Bawaslu dalam upaya klarifikasi. Kami akan buktikan apakah laporan itu memenuhi unsur kekerasan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang 10/2016 itu,” tegasnya.
Menurut sosiolog asal Norwegia, Johan Galtung, kekerasan tidak hanya berbentuk langsung, tapi ada juga tidak langsung. Kekerasan struktural dimulai saat sumber daya terdistribusikan secara timpang oleh struktur atau kekuasaan. Contohnya, suatu kelompok tidak mendapat bantuan karena tidak memenangkan paslon Z saat pilkada. Secara substansial, tidak adil kepada masyarakat ketika sumber daya tersedia, memiliki dampak kesusahan yang sama dengan menyerang fisik seseorang secara langsung.
Sementara kekerasan simbolik yakni tindakan memanfaatkan berbagai sarana untuk menyakiti hati dan merugikan kepentingan orang lain. Misalnya mengatakan yang tidak memilih paslon A sebagai keturunan pengacau, karena paslon A dikaitkan dengan simbol tertentu. Namun, ketika menyebut leluhur A lebih mulia dari leluhur klan B, pernyataan itu termasuk dalam kategori kekerasan budaya. hen