“(BUPATI) Tamba lebih baik istirahat saja daripada cawe-cawe ngabiskan uang sendiri tidak ada hasil, itu biayanya jauh lebih banyak,” ucap Bupati Jembrana 2000-2010, Gde Winasa, usai bebas dari terungku gegara kasus korupsi, akhir pekan lalu. Diucapkan dengan ekspresi dan nada datar, ayah Wakil Bupati Jembrana, Gede Ngurah Patriana Krisna (Ipat), itu terang melempar rasa tidak sukanya. Panas-dingin hubungan Ipat dengan Tamba di Pemkab Jembrana disebut-sebut sebagai pemantiknya.
Diakui atau tidak, Winasa memang (masih) jadi episentrum cum anomali politik lokal Jembrana. Benar, Winasa pernah mendekam di penjara dibelit sejumlah kasus korupsi. Namun, sulit dielak kemenangan Tamba-Ipat melawan Kembang Hartawan-Sugiasa pada Pilkada 2020 turut disumbang dari menjual simbol Winasa. Dengan lain ucap, meski banyak kontroversi, rakyat Jembrana juga masih mencintai Winasa, setidaknya sebagian.
Mungkin belajar dari Pilkada 2020, Kembang kini berusaha memetik insentif elektoral dari tuah Winasa dengan menjual citra dia dekat dengan Winasa. Entah apa negosiasi di panggung belakang di antara mereka, Ipat akan bersaing dengan Kembang untuk Pilkada 2024. Kini situasi terbalik. Ipat yang tahun 2020 bersama Tamba melawan Kembang, kini giliran bersama Kembang akan melawan Tamba. Kembang yang saat debat kandidat Pilkada 2020 menyindir Ipat sebagai “banyak mengagungkan masa silam” pada era Winasa, kini berbalik memuji Winasa sebagai mentor politiknya.
Pertanyaannya, jika Ipat diandaikan mewarisi imaji gemilang Jembrana di era ayahnya, apa otomatis mencuri ceruk suara kalangan yang ingin bernostalgia masa keemasan Jembrana? Anggaplah jawabnya iya, peluang mendulang suara lebih berpeluang hanya di pemilih kalanganbaby boomer dan generasi X. Sebab, mereka adalah saksi hidup bagaimana pesatnya perkembangan Jembrana di era Winasa.
Berdasarkan data, selama Januari hingga pertengahan Juni 2010, Pemkab Jembrana menerima 1.837 kunjungan dari pemerintah maupun swasta yang ingin tahu pemanfaatan teknologi informasi di Jembrana. Mereka hendak belajar bagaimana Jembrana dengan PAD kecil mampu membuat Jembrana Smart Card (J-Smart). Pada era Winasa juga Jembrana mampu menerapkan konsep digital city ketika hal itu masih jadi wacana di Indonesia (swa.co.id, 2010).
Bagi kalangan milenial atau generasi Z, bisa jadi citra positif Winasa kurang melekat di benak. Sebab, mereka tumbuh dan berkembang ketika pemerintahan Winasa berakhir, dan itu artinya kebijakan populisnya mulai ditanggalkan rezim berikutnya. Pun cerita minor rekam jejak Winasa dan, terutama, kasus korupsinya, mulai banyak tersingkap di media. Tetapi, semua kembali kepada bagaimana juru racik taktik elite politik di Jembrana, mengemas citra Winasa dalam palagan kampanye kelak.
Menelisik dari dinamika itu, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang bisa dimaknai. Pertama, Kembang sekarang gantian secara sadar mengedepankan Winasa sebagai ikon perjuangan di Pilkada. Ini juga simbol pengakuan bahwa Winasa masih layak jual di mata konstituen meski secara formal “bukan siapa-siapa”. Situasinya mirip dengan PDIP yang menjual citra Bung Karno, atau Partai Berkarya menonjolkan imaji Soeharto.
Dengan menggandeng Ipat dan ditambah pernyataan Winasa menuding Tamba tidak mengeksekusi visi-misi yang ditulisnya, Kembang secara halus menggiring opini bahwa dia yang lebih layak “membuat Jembrana jaya kembali”. Apalagi Kembang dan Ipat sama-sama berbekal pengalaman sebagai Wakil Bupati Jembrana, meski di era berbeda. Pun diasosiasikan bahwa kali ini Winasa, yang konon diperjuangkan Kembang dalam proses pembebasannya, akan serius membantu mewujudkan. Meski, juga dapat dimaknai Ipat hanya sebatas personifikasi atau menapak dalam bayang-bayang Winasa.
Kedua, situasi ini rentan membuat dinamika baru dalam koalisi partai yang semula mengusung Tamba-Ipat. Sebelum Winasa bebas dari jeruji besi, Koalisi Indonesia Maju (KIM) memiliki kekuatan besar. Dari 35 kursi di DPRD Jembrana, KIM memiliki 16 kursi terdiri dari Golkar (6), Demokrat (6), dan Gerindra (4). PDIP memiliki 15 kursi, dengan empat kursi sisanya dibagi rata antara PKB dan PPP. Dengan Tamba terlihat agak panik dengan hengkangnya Ipat, koalisi sangat mungkin menawarkan proposal baru untuk tetap mau mendukung Tamba.
Secara logika, jika kemudian hanya Golkar dan Gerindra bergabung, sudah bisa membuat poros baru karena syarat minimal hanya 7 kursi. PKB dan PPP yang bercorak Islam lebih peluang diajak ke poros baru, karena melihat ada peluang insentif politik Prabowo effect yang memayungi Gerindra. Jika skenario itu terjadi, Demokrat sebagai pilar kekuatan Tamba tak bisa sendiri mengusung Tamba ke periode kedua. Jadi, Tamba akan dihadapkan pada pilihan untuk renegosiasi dan rekalkulasi politik, terutama untuk posisi calon Wakil Bupati.
Ketiga, berbalik punggung Winasa ini sebagai sindiran –jika bukan ejekan– bahwa era Tamba sebagai Bupati dengan membawa nama Winasa saat kampanye lalu ibarat “mau enaknya tapi tidak mau anaknya”. Selama nyaris empat tahun Tamba memimpin niscaya ada sejumlah aspek bagus, tapi dipersepsikan belum mampu menyaingi dahaga publik atas citra kejayaan era Winasa.
Mengutip filsuf Prancis, Jean Baudrillard, pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran yang membuat tidak bisa lagi dibedakan antara realitas, representasi, simulasi, kepalsuan dan hiperealitas. Pencitraan Winasa dengan pelbagai kebijakannya itu kian terlegitimasi, dan lekat di benak masyarakat, karena belum pernah ada lagi masa keemasan yang dipersepsikan sama setelah itu.
Di sisi lain, bagi Tamba dan KIM, justru ini momentum tepat membuktikan sejauh mana kemampuan dan warisan citra positif Winasa mampu diruntuhkan. Bagi Golkar, ini ujian konsistensi menyikapi kader yang mbalelo dari kesepakatan mengusung paslon dalam bingkai KIM. Kini, tinggal bagaimana rakyat Jembrana bersikap atas perang tafsir atas wacana “membuat Jembrana jaya kembali” dengan menjual simbol Winasa itu. Gus Hendra