MATARAM – Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, mengatakan, rendahnya Nilai Tukar Petani (NTP) selama ini, dipicu tidak terintegrasinya antara sektor hulu dan hilir. Padahal, sektor pertanian merupakan bidang usaha strategis yang bisa menjadi andalan pemerintah yang relatif kokoh dalam kondisi pandemi saat ini.
‘’Ada yang tidak nyambung. Yakni, sektor hulu di pegang oleh Kementerian Pertanian. Sedangkan, sektor hilirnya dipegang oleh Menteri Perdagangan, sehingga ada kekosongan di tengahnya. Inilah yang menjadi pemicu NTP petani cenderung turun selama ini,’’ ujar Johan pada wartawan di Mataram, Minggu (8/8/2021).
Politisi PKS asal Sumbawa itu mengingatkan bahwa tingkat kemiskinan di pedesaan masih relatif tinggi yang notabene masyarakat perdesaan biasa berprofesi sebagai petani, peternak atau pembudidaya ikan dan nelayan. Untuk itu, ujar dia, masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk peningkatan NTP ini, sehingga akan perlahan-lahan mengubah struktur ekonomi masyarakat Indonesia.
Johan menegaskan, perlunya peningkatan alokasi APBN baik di Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun KLHK. Kementerian-kementerian tersebut merupakan kementerian teknis yang banyak bersentuhan langsung dengan masyarakat kecil terutama masyarakat perdesaan atau pelosok bahkan sampai pinggiran batas negara.
Selain itu, agar ada keseimbangan neraca antara hulu dan hilir, maka badan pangan nasional harus segera dibentuk. Sebab, Bulog yang bersifat hanya menjaga kestabilan cadangan beras dan stok nasional tidak bisa terlalu diharapkan. ‘’Bulog itu kerjanya pasif, yakni jika diperintah saja baru mereka bergerak. Makanya, jangan heran jika jalur distribusi kita banyak dikuasai oleh para calo selama ini,’’ tegas Johan.
Ia mendaku, jika merujuk UU Pangan Nasional, maka pemerintah harus secepatnya membentuk adanya badan pangan nasional. Hal ini menyusul harga di tingkat petani umumnya tidak bagus. ‘’Rantai pertanian kita itu yang untung adalah calo. Ini aneh, karena juga dilegalkan dengan UU Cipta kerja terkait adanya calo itu,’’ ucap Johan.
Oleh karena itu, ia mendesak perlu adanya penghubung legal melalui terbentuknya sebuah badan pangan nasional. Terlebih, semangat adanya lembaga itu telah diamanatkan pada tahun 2014 lalu. ‘’Sekali lagi, tidak terbentuk badan pangan nasional yang diamanatkan UU itu, karena memang di Indonesia itu sangat mahal arti sebuah koordinasi. Ini karena antar kementrian dan lembaga sangat enggan melepaskan ego mereka masing-masing. Padahal, jika mereka mau melepaskan egonya, ketahanan bangsa melalui kedaulatan pangan akan bisa terbentuk,’’ tandas Johan Rosihan. rul