Di Balik Jaman Modern, Masih Relevankah Tonjolkan Soroh?

Ilustrasi. foto: ist

Oleh Gede Psk. Subendi

DEKADE belakangan, banyak masyarakat Bali mencari soroh apa, menelusuri klen, asal usul keturunan dan seterusnya. Memuja leluhur memang sebuah keharusan menurut ajaran agama Hindu. Pelinggih pemujaan “Sanggah Kemulan Rong Telu”, di setiap rumah Hindu, menandakan masyarakat Bali yang Hindu – memuja
leluhur.

Bacaan Lainnya

Secara niskala di sanalah leluhur ditempatkan. Tetapi sekalipun demikian, dalam jaman serba canggih dan maju saat ini, kita patut terlalu fanatik dengan soroh masing-masing?

Dalam sebuah kantor, sahabat saya bernama Gede Pasek menjadi Kepala Bagian (Kabag). Seorang stafnya bernama Ida Ayu, lahir di Geria. Tiap hari Ida Ayu yang golongan kecil itu melayani Pak Pasek membuatkan kopi rekan saya itu. Mereka bekerja sesuai dengan fungsinya. Tidak peduli mereka soroh apa. Di mana lahir, soalnya tempat lahir seseorang tidak dapat di “request” ke Ide Bahtara.

Suatu saat saya terlibat dalam sebuah diskusi terbatas dengan thema “Kemajuan Cina Sekarang”. Pesertanya banyak bernama Ida Bagus, Cokorde Agung, Anak Agung Gede, Pasek Gede Jimbaran, Dewa Agung, Wayan Bunter, Made Mangku, Jro Dalang, Jro Balian, Bandesa Mas. Pokoknya nama mereka dari berbagai soroh yang ada di Bali. Suatu yang sengaja atau kebetulan, saya nggak tahu.

Mereka semua lulusan Perguruan Tinggi di Jawa dan Bali. Ketemu bicara soal kemajuan teknologi jaman sekarang, termasuk klaim Negara Cina terhadap bulan. Diskusi mereka cair. Bahkan bahasanya menggunakan gaya Buleleng dengan kata “nani” segala. Ada yang pakai gaya “lu dan gua” seperti orang Jakarta.

Ada juga gaya Badung dengan kata-kata “cai, cang dan nyai”. Pokoknya segala bahasa yang dianggap sebagai pertanda pergaulan keluar semua. Tentu ada yang gunakan gaya Gianya dan Karangasem dengan Bahasa Bali halus mendayu-dayu.

Keseimpulan diskusi, jangan memikirkan darimana asal-usul kita. Siapa nama kita. Coba bayangkan, kini Cina sudah mengklaim Bulan yang kita puja-puji di tempat suci, menjadi miliknya melebihi Amerika Serikat. AS boleh bangga pertama kali mengirim orang ke Bulan. Kini Cina akan membangun pertanian di Bulan. Apa pasal?

Soal mengolah Bulan pekerjaan kecil bagi Cina. Pasalnya negeri itu sudah membuktikan menyulap ratusan hektar tanah tandus berisi pasir menjadi kolam ikan terbesar di dunia, menggunakan air laut. Dengan teknologi tinggi mereka memanfaatkan air laut guna membangun kolam memelihara jutaan ikan buat rakyatnya. Bahkan bisa dikalengkan untuk diekspor ke luar negeri.

Jadi….., tak usah sibuk menonjol-nonjolkan soroh, sementara orang lain sudah jauh di depan kita. Saya setuju kita menghargai, menyembah dan mencari soroh segala. Asal usul bolehlah dianggap penting!. Tetapi bersatu padu sebagai masyarakat Bali lebih penting buat leluhur.

Leluhur kita akan bangga, jika masyarakat Bali yang bersatu padu mampu menjagga budaya, adat istiadat, agamanya dengan baik, tanpa melihat darimana asal-usul kita. Manusapada kuncinya!

Di Tiongkok (Cina) sana juga banyak klen/soroh. Lihat nama belakang mereka. Itu berbagai klen. Tapi mereka bersatu padu di bawah satu komando memanfaatkan kemajuan teknologi buat menguasai dunia. Amerika sendiri tak habis pikir dengan teknologi Cina. Membangun jalan di atas awan, di atas laut. Dan kini ingin membuat pertanian di Bulan.

Apa nggak malu, kita terus bangga dengan nama ini dan itu? Tapi otak masih jadul? Ah…. Nggak lah! (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses