Mungkinkah Partai Kebal Godaan Praktik Dinasti dan Oligarki?

Gus Hendra. Foto: hen
Gus Hendra. Foto: hen

SEPERTI sudah diprediksi, hasil Konferda-Konfercab PDIP Bali pada 18 Oktober yang “sekadar” mengukuhkan para ketua DPC dan DPD PDIP Bali yang sedang menjabat, akan memantik pergunjingan di publik. Salah satu isu yang muncul adalah tidak ada demokrasi di tubuh partai, yang huruf “D” di tengahnya singkatan dari Demokrasi. Belum lagi fakta masuknya anak, istri dan kerabat elite partai ke dalam struktural. Singkat tutur: terjadi politik dinasti (kekerabatan) dan oligarki (segelintir elite) di partai yang dikendalikan Megawati Soekarnoputri itu.

Pertanyaannya, apakah partai lain kebal godaan politik dinasti atau oligarki? Bagaimana publik sepatutnya menyikapi realitas politik itu?

Bacaan Lainnya

Jika mencermati struktur partai lain di Indonesia, terutama yang eksistensinya banyak bergantung pada popularitas dan nama besar figur ketua umumnya, kita akan mendapat diagnosis yang sama: kuasa oligarki mencengkeram hampir semua partai besar. Faktanya, partai yang berkuasa atau berpengaruh, cenderung menarik kerabat atau keluarga elite untuk menjadi pengurus. Tujuannya untuk mempertahankan dan mengkonsolidasikan kekuasaan selama mungkin. Jadi, oligarki bukan lagi soal “mau atau tidak mau”, melainkan hanya soal waktu dan kebutuhan struktural belaka.

Di Partai Gerindra misalnya, keluarga Ketua Umum Prabowo Subianto mengisi posisi-posisi vital di DPP. Adiknya, Hashim Djojohadikusumo, menjabat Wakil Ketua Dewan Pembina.  Selain strategis, posisi pengusaha besar ini juga mengamankan dukungan finansial untuk partai. Keponakan Prabowo, Thomas Djiwandono, menjabat Bendahara Umum DPP. Dua keponakan lainnya, Budi Djiwandono dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mengunci posisi Wakil Ketua Umum.

Selanjutnya di Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tetap menjadi penguasa tertinggi sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai. Putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menjadi Ketua Umum. Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), adik AHY, masuk di Dewan Pertimbangan DPP dan pimpinan Fraksi Demokrat di DPR. Surya Paloh sebagai pendiri Partai Nasdem juga mendudukkan putranya, Prananda Surya Paloh, sebagai Ketua Koordinator Pemenangan Pemilu. 

Sebagai pembanding, situasi serupa juga terjadi di negara lain di kawasan Asia Tenggara. Di Malaysia, Najib Razak (mantan PM) adalah putra dari PM kedua Malaysia, Abdul Razak Hussein, di Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO). Mukhriz Mahathir (putra PM Mahathir Mohamad) menjabat posisi penting di UMNO dan menjadi Menteri Besar. Presiden Ferdinand Marcos Jr. (Bongbong) di Filipina saat ini, meneruskan kekuasaan ayahnya, diktator Ferdinand Marcos Sr. Di Singapura, Lee Hsien Loong (mantan PM) adalah putra dari pendiri Singapura, Lee Kuan Yew. Thaksin Shinawatra dan adik perempuannya, Yingluck Shinawatra, pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand. Saat ini, putri Thaksin, Paetongtarn Shinawatra, adalah Ketua Partai Pheu Thai yang dikuasai keluarga ini.

Dari data tersebut, politik dinasti dapat dimaknai, pertama, memastikan penerus dan pos-pos strategis tetap dikontrol, sekaligus jalan mengamankan jaringan dan sumber daya partai. Negatifnya, pemimpin yang diangkat cenderung loyal hanya kepada keluarga elite, bukan kepada kader atau aturan partai. Kedua, memastikan transisi kekuasaan di internal relatif tanpa turbulensi yang dapat mengancam eksistensi partai; juga mengamankan kebijakan elite. Risikonya, terjadi stagnasi regenerasi dan terkikisnya meritokrasi. Keputusan strategis mudah diintervensi kepentingan elite, bukan mengedepankan musyawarah.

Ketiga, karena lanskap politik juga kuat dipengaruhi tokoh tertentu, nama trah keluarga seperti Soekarno, Yudhoyono, atau Prabowo bagai “merek jaminan” untuk negosiasi politik, mempersuasi publik, dan melebarkan peluang kemenangan elektoral. Sisi destruktifnya, mudah terjadi konflik kepentingan antara aspirasi kader dan elite, serta partai cenderung kurang adaptif terhadap perkembangan era.

Sosiolog Robert Mitchel menjelaskan kondisi ini dengan teori Hukum Besi Oligarki (The Iron Law of Oligarchy). Meminjam pandangannya, semua organisasi besar, bahkan yang paling demokratis sekalipun, pada akhirnya akan didominasi oleh segelintir elite (oligarki). Keadaan ini terjadi karena tiga alasan struktural.

Pertama, kebutuhan organisasi. Karena partai harus efisien, muncul spesialisasi dan delegasi kekuasaan kepada sekelompok kecil pemimpin. Konsekuensinya, para anggota mewakilkan kekuasaan kepada sekelompok kecil eksekutif, dan ini adalah awal terciptanya elite. Konsentrasi kekuasaan ini tidak dapat dihindari (inevitable).

Kedua, kebutuhan pemimpin. Setelah mendapat kekuasaan, elite ini akan mengontrol informasi dan sumber daya partai. Mereka secara alamiah akan bertindak demi melanggengkan status dan kekuasaan partai, yang itu juga berarti kekuasaan mereka, dengan memilih penerus dari lingkaran keluarga.

Ketiga, kebutuhan anggota. Mayoritas anggota cenderung apatis terhadap detail administratif dan politik yang rumit, serta cenderung lebih nyaman jadi pengekor daripada pelopor. Keadaan ini melahirkan kebutuhan psikologis terhadap pemimpin kuat, yang muaranya menciptakan kultus individu. Disadari atau tidak, keadaan ini mempermudah konsentrasi kekuasaan di tangan elite.

Berkaca dari realitas politik tersebut, politik dinasti dan oligarki adalah jurang dalam yang memisahkan antara moral dan etika versus kebutuhan organisasi. Di tubuh partai semenjana atau medioker, karena tidak tersedia Kapital (sosial, ekonomi, simbolik dan kultural) yang memadai, situasi sejenis tak banyak terlihat. Konklusinya, makin besar kekuasaan partai, makin pasti juga mereka mempraktikkan politik dinasti dan oligarki. Pembedanya mungkin cuma apakah kebijakan partai model itu seturut aspirasi rakyat atau elitenya saja.

Sebagai penyeimbang, publik (terutama kader) berhak menuntut transparansi dalam pemilihan pengurus partai, termasuk di Pemilu dan Pilkada. Misalnya bagaimana rekam jejak atau apa kelebihan kerabat elite yang direkrut ke struktur partai, dibandingkan yang bukan kerabat elite. Ketika tidak mungkin berharap pada partai, terutama yang nyaman berkuasa, akan bertransformasi melucuti oligarki, pilihan ada di tangan pemilih. Kalau masih percaya ya pilih, kalau tidak ya tinggalkan. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses