DENPASAR – Temuan adanya pemilih yang masih hidup tapi dibuatkan akta kematian saat pemutakhiran data pemilih berkelanjutan, dinilai memiliki konsekuensi yuridis. Konsekuensi dari pemalsuan data kependudukan itu bisa menjerat pribadi, bisa juga secara kelembagaan.
Pandangan tersebut dilontarkan Dekan Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati, Dr. Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa, Rabu (14/9/2022).
Lanang dimintai pendapatnya terkait data yang dilansir KPU Bali, terkait temuan 116 pemilih yang masih hidup tapi dinyatakan meninggal sesuai akta kematian.
Temuan pada saat tahapan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan tersebut paling banyak terjadi di Kabupaten Badung sebanyak 90 orang, Bangli (24), Tabanan (1), dan Karangasem (1). Kuat dugaan akta kematian asli tapi palsu itu dibuat dengan motif untuk mendapat santunan kematian bagi keluarga yang “dinyatakan meninggal”.
Menurut Lanang, harus dicek betul apakah data pemilih hidup tapi “dimatikan” itu terjadi karena unsur kesengajaan atau sekadar salah input data. Kata dia, terkadang ada persoalan teknis di lapangan tapi seolah benar-benar terjadi. Jika misalnya itu kesalahan teknis data, maka tinggal disesuaikan dengan kenyataan.
Bila orangnya diketahui masih hidup tapi tetap dibuatkan akta kematian di pemda, hal itu berarti melanggar UU Kependudukan. “Itu bisa administratif, bisa pidana. Kalau sengaja membuatkan berarti pemalsuan dan kebohongan publik atas data itu,” seru mantan Ketua KPU Bali tersebut.
Secara pertanggungjawaban hukum, Lanang melihat ada dua jenis, yakni secara personal dan kelembagaan. Jika pegawai Dinas Dukcapil sengaja memalsukan data untuk membuat akta, itu tanggung jawab personal. Namun, ketika akta kematian itu lahir tanpa melalui tahapan atau prosedur sepatutnya, maka lembaga juga wajib bertanggung jawab.
Bercermin dari temuan KPU tersebut, Lanang mengingatkan agar persoalan ini tidak terulang lagi di masa mendatang.
“Kita tentu tidak ingin ada lagi pejabat atau lembaga main-main soal data kependudukan, apalagi terkait persoalan program atau proyek untuk kepentingan atau keuntungan sesaat. Semoga saja ini salah input data, tinggal disesuaikan. Tapi jika benar dibuatkan akta kematian untuk tujuan lain, sangat kita sayangkan,” tandasnya.
Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Gede Lidartawan, dimintai tanggapan terkait kemungkinan temuan data pemilih hidup dinyatakan meninggal, menegaskan data itu jelas bukan karena salah input.
Pertimbangannya, tidak ada bukti pemilih itu sudah mati, mengapa bisa dibuatkan akta kematian? “Bagaimana bisa salah input data, akta kematian itu kan diusulkan keluarga, diketahui kepala desa, sampai Dukcapil baru dikeluarkan akta. Itu akta otentik,” tegasnya.
Dia menegaskan kembali, temuan itu merupakan hasil verifikasi faktual saat pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. Bawaslu juga turut mengawasi saat jajaran KPU turun ke lapangan. Ketika kemudian ditemukan yang dinyatakan meninggal itu ternyata masih hidup, dimasukkan kembali ke data pemilih berkelanjutan.
“Bawaslu ikut kok bersama kami ke lapangan. Kami menyampaikan temuan ini agar kita sama-sama memperbaiki data kependudukan, yang berkaitan juga dengan data pemilih. Ini tanggung jawab kita bersama,” tandasnya. hen