Kebengalan Purbaya: Waspada Kebenaran Tunggal di Tengah Kritik

Purbaya Yudhi Sadewa. Foto: Gambar AI
Purbaya Yudhi Sadewa. Foto: Gambar AI

ALIH-alih tumbang, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa malah kian berkibar menjadi media darling usai “diserang” Hasan Nasbi. Mantan Kepala Kantor Kepresidenan itu mengkritik gaya komunikasi Purbaya yang kerap menyerang pejabat lain. “Misalnya menteri berantem sama gubernur, mungkin hari ini kita melihatnya jadi hiburan. Tapi kalau lama-kelamaan orang akan melihat ini sebagai ketidak-solidan pemerintah,” ucap Hasan (kompas.com, 27/10/2025).

Walau disampaikan sambil cengengesan, jawaban Purbaya menohok. (1) Dia mengkritik pejabat publik bukan tindakan spontan. (2) Dia menjalankan perintah Presiden untuk memulihkan kepercayaan publik kepada pemerintah. (3) Hasil survei Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), indeks kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah naik pada Oktober 2025 menjadi 113,3 dari 101,5 pada bulan sebelumnya (kompas.com, 27/10/2025).

Bacaan Lainnya

Berhubung Hasan tidak pernah bersentuhan langsung, muncul dugaan melambungnya level akseptabilitas publik terhadap Purbaya melahirkan “kecemburuan” pihak lain. Baik di luar maupun di dalam lingkaran Presiden. Menunjukkan sisi negatif Purbaya dalam komunikasi bisa jadi sebagai medium mengikir citranya. Hanya, bahwa belum ada teguran atas “kebengalan” Purbaya, bisa jadi Presiden Prabowo melihat benefit politisnya lebih besar daripada risiko nyata instabilitas kabinet.

Gaya komunikasi Purbaya yang apa adanya, lugas, dan tak gentar menyebut nama orang ada kemiripan dengan mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), atau Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Bedanya, ketika ada yang tersinggung, Gus Dur enteng saja ngeles dengan kalimat sakti “Gitu aja kok repot?”, Ahok tak segan konfrontatif menjurus kasar, sedangkan Purbaya lebih “santun” bertahan dengan argumen. Masalahnya, sebagai pejabat publik, wacana mereka memiliki kekuatan dalam membentuk persepsi publik terhadap realitas sosial.

Memakai pendekatan Analisis Wacana Kritis dari Fairclough, yang melihat bahasa sebagai alat memproduksi kekuasaan, perhatikan ketika Purbaya berucap “stabilitas pemerintahan amat baik di mata masyarakat. Kecuali di mata orang itu ya”. Meski terkesan santai, pesannya lugas: pernyataan Hasan dianggap angin lalu. Secara semiosis, Purbaya mempersuasi publik bahwa dia berupaya jujur dan transparan lewat wacana, kondisi yang agak langka di pejabat kita. Purbaya bahkan ditautkan dengan Mar’ie Muhamad, mantan Menteri Keuangan periode 1993-1998 yang dijuluki “Mr. Clean” karena kejujurannya.

Persuasi melahirkan hegemoni, yakni diterimanya suatu wacana sebagai suatu kewajaran dan kebenaran tanpa paksaan. Tingkat kesukaan publik ke Purbaya mendukung terpeliharanya hegemoni. Di media sosial, wacananya menjadi argumentum ad verecundiam (teknik persuasif ketika seseorang merasa tertekan oleh penggunaan otoritas, sehingga tidak memperhatikan alasan atau bukti yang relevan) yang sesungguhnya rentan menjadi kebenaran tunggal. Pun timbul persepsi “Purbaya tidak mungkin salah”. Situasinya mirip ketika Presiden Jokowi dikritik soal pembangunan yang merusak lingkungan di Papua misalnya, dia dibela habis-habisan sampai melahirkan perang digital.

Jika diselami, kekuatan Purbaya dalam komunikasi, khususnya ketika berseberangan dengan pejabat lain, adalah mengutip data yang mengukuhkan wacananya. Misalnya data survei Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), indeks kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah naik pada Oktober 2025 menjadi 113,3 dari 101,5 pada bulan sebelumnya. Ini naik tajam dibanding Juli–Agustus, ketika terjadi banyak aksi demonstrasi. Efek dari wacana itu adalah membangun narasi bahwa kebijakannya memang logis, tepat sasaran, dan dibutuhkan.

Ada sisi positif dari komunikasi model begini. (1) Membangun harapan dan kepercayaan masyarakat. Karena disampaikan tanpa basa-basi, publik melihat ada transparansi yang bermuara kepada timbulnya legitimasi atas suatu kebijakan.

(2) Eksplanasi yang mudah dicerna membuat publik teredukasi. Coba cek, berapa banyak publik yang paham kebijakan fiskal yang begitu kompleks? Tapi oleh Purbaya dijelaskan sesederhana mungkin untuk menjangkau seluas mungkin tingkat pengetahuan khalayak.

(3) Purbaya memposisikan dan diposisikan sebagai agen yang punya kapasitas bertindak secara independen sejauh kewenangannya. Pesan yang ditangkap publik, termasuk para pengusaha dan investor: pemerintahan Presiden Prabowo benar-benar serius memperbaiki serta memperkuat ekonomi nasional.

Namun, ada juga sisi buruknya. (1) Rentan memvisualkan konflik di internal kabinet dan pejabat, yang dapat mempengaruhi respons pasar.  Diksi “stabilitas pemerintahan amat baik di mata masyarakat. Kecuali di mata orang itu ya” mudah digiring oleh eksternal menjadi “orang itu tidak suka negeri kita jadi baik”.

(2) Derasnya pemberitaan terkait sosok Purbaya dapat membuat kepincangan pencitraan di tubuh kabinet. Kuatnya citra positif Purbaya mudah dikemas menjadi amunisi untuk “dipukuli” oleh menteri atau pejabat yang tersaingi. Jika itu terjadi, Presiden berisiko “terlihat tidak mampu” mengendalikan kabinetnya.

(3) Disadari atau tidak, Purbaya sedang menempatkan diri sebagai musuh bersama, entah di dalam maupun di luar Istana. Bagaimana ketenangan dia “bertengkar” dengan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menunjukkan rasa percaya diri mumpuni. Ini rentan diframing bahwa dengan popularitasnya dia diam-diam punya agenda terselubung untuk politik elektoral kelak. Bisa saja Purbaya mengklaim “Nggak kepikiran sama sekali. Gue nggak peduli juga,” seperti dikutip dari detikfinance (10/10/2025), tapi isu politik tidak segampang itu disiram.

Terlepas apa realita di panggung belakang Istana, yang menjadi hakim dalam dinamika politik internal kabinet adalah Presiden Prabowo. Ini bentuk lain ujian pada Prabowo untuk menyeimbangkan insentif politis dari membiarkan “kebebasan bicara” Purbaya, dan menjaga agar ritme dinamika di kabinet tidak menggerus kepercayaan pasar.  Apalagi Purbaya sejauh ini terbukti berhasil menutupi sejumlah kekurangan kebijakan fiskal Prabowo di era Menteri Sri Mulyani, sekaligus memperkuat legitimasi pemerintahan. Soal bagaimana caranya, yakinlah sudah ada jawabnya di saku baju Prabowo. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses