POSMERDEKA.COM, DENPASAR – Bencana banjir besar di sejumlah wilayah di Bali, terutama Badung dan Denpasar, pada medio September lalu, memperlihatkan absennya sistem deteksi dini banjir. Meski penanganan pascabencana oleh pemerintah daerah cukup baik, bagaimana memitigasi bencana tentu lebih dibutuhkan ke depan. Dua hal itu terkuak dalam rapat kerja DPRD Bali dengan OPD Pemprov Bali dan stakeholder terkait di DPRD Bali, dipimpin Ketua DPRD Dewa Made Mahayadnya, Rabu (1/10/2025).
“Bencana tanggal 10 September itu menelan banyak korban jiwa dan materi, kami prihatin dan turut berbelasungkawa. Penanganan sudah baik, tapi kita perlu mitigasi banjir jangan sampai terulang,” ujar Dewa Jack, sapaan akrab Dewa Mahayadnya, membuka rapat.
Dia mengaku belajar penanganan banjir di Jakarta pada era Jokowi-Ahok yang dinilai cukup berhasil. Dia mengajak eksekutif dan stakeholder untuk konsisten membuat aksi guna menjawab aspirasi publik. Misalnya dengan membersihkan atau menormalisasi sungai sebagai bentuk mitigasi, dan didokumentasikan untuk disampaikan lewat media sosial. Jangan sampai ada warga mengira pemerintah tidak ada aksi mitigasi.
“Di APBD Perubahan kita anggarkan untuk bersihkan gorong-gorong macet misalnya, jadi masyarakat melihat ada eksyen. Minimal kalau ada banjir lagi itu banjir biasa, tidak seheboh kemarin,” pintanya.
Kalaksa BPBD Bali, Made Teja, menguraikan kerentanan banjir antara lain akibat sampah dan sedimentasi sungai. Dia juga menyebut Pemprov Bali mengucurkan bantuan pascabencana ke 638 pedagang kios dan lapak di Pasar Badung.
Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida, Gunawan Suntoro, menyebut banjir juga dipicu rumpun dan potongan bambu banyak menghambat sampah yang terjebak di infrastruktur jembatan yang melintang. Drainase lingkungan juga perlu diperbaiki. Sebagai mitigasi, BWS melakukan pengerukan di muara Tukad Badung untuk mengeluarkan sedimentasinya. Pun akan mengecek sempadan sungai, yang kini banyak terdapat bangunan.
“Mungkin ada resistensi nanti, mohon dukungan Dewan. Jika Sungai Ayung, Sungai Badung dan Tukad Mati tidak bisa menampung air lagi, kami akan tinggikan tanggul,” jelasnya.
Ketua Komisi 3, Nyoman Suyasa, mengkritik pemerintah terlalu sibuk saat bencana tapi lupa proses sebelum bencana. Kelemahannya di mitigasi, dan semua pihak diajak kompak merencanakan aksi di lapangan. Pemerintah dinilai terlalu takut investasi berkedok pariwisata tapi lemah di mitigasi bencana. Sebab, selama ini belum pernah ada pengerukan sungai.
“Saya minta segera laksanakan dan anggarkan lebih besar untuk normalisasi sungai. Perubahan iklim sudah terjadi dan perlu kita sikapi mulai hari ini. Belajar berbenah dan kembali ke jalan yang benar,” serunya.
Ketua Komisi 4, Nyoman Suwirta, mengaku heran alarm deteksi dini banjir tidak ada. Padahal harganya sekitar Rp80 juta per unit, dan pemerintah masih mampu membeli. Dia menekankan kepada Kabupaten Badung dan Kota Denpasar mendata ketaatan warga memilah sampah di TPS3R. Jika masih rendah, anggaran difokuskan ke sana.
“Sekarang diizinkan lagi buang sampah sementara ke TPA Suwung, nanti kalau diketatkan lagi ada polemik,” pesannya mengingatkan.
Ketua Komisi 2, Agung Bagus Pratiksa Linggih, menyoroti kinerja Satpol PP Provinsi Bali yang dinilai kurang tegas menindak pelanggaran di Daerah Aliran Sungai (DAS), yang merupakan kewenangan Pemprov. Jika Satpol PP aktif bekerja, Dewan tidak perlu sidak untuk mengecek pelanggaran di DAS.
Sebelum menutup rapat, Dewa Jack mengingatkan kembali untuk semua segera beraksi memitigasi banjir. Termasuk menyediakan sistem deteksi dini banjir di wilayah Denpasar, agar bisa memperingatkan potensi banjir ketika hujan turun. Jika kembali terjadi banjir, itu tamparan buat Pemprov Bali. “Apalagi ada kita PWA (Pungutan bagi Wisatawan Asing), pasti diberitakan sebagai pembanding (kalau kembali banjir),” urainya memungkasi. hen