Bawaslu Tegaskan Sarper PDPB Bukan Sekadar Administratif, Pengawasan Jangan Ada Ego Sektoral

WAYAN Wirka (tengah) saat monitoring di Bawaslu Denpasar, Jumat (8/8/2025). Foto: ist
WAYAN Wirka (tengah) saat monitoring di Bawaslu Denpasar, Jumat (8/8/2025). Foto: ist

POSMERDEKA.COM, DENPASAR – Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) memang bukan termasuk tahapan resmi pemilu, tapi tetap menyimpan potensi permasalahan substantif yang dapat berdampak kepada hak konstitusional warga negara dalam menggunakan hak pilih. Selain itu, saran perbaikan (sarper) Bawaslu kepada KPU terkait PDPB disebut bukan sekadar catatan administratif. Pandangan itu dilontarkan anggota Bawaslu Bali, I Wayan Wirka, saat agenda monitoring di Bawaslu Denpasar, Jumat (8/8/2025).

Wirka memaparkan, Bawaslu penting memperlakukan masa non-tahapan pemilu bukan sebagai ruang pasif kelembagaan, melainkan sebagai fase strategis untuk memastikan konsistensi pengawasan. Pun kesinambungan penegakan prinsip-prinsip demokrasi elektoral. Salah satu isu utama yang disorot adalah urgensi pengelolaan penanganan pelanggaran dalam konteks PDPB. Sebab, meski PDPB tidak dikategorikan sebagai tahapan resmi pemilu menurut norma peraturan perundang-undangan, tapi tetap menyimpan potensi permasalahan substantif.

Bacaan Lainnya

“Dalam perspektif hukum, hak memilih merupakan hak dasar yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi. Karena itu, setiap proses yang berdampak pada pemenuhan atau penghilangan hak tersebut, termasuk dalam PDPB, harus tunduk pada prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas. Jadi, pengawasan terhadap PDPB adalah imperatif, bukan pilihan,” bebernya.

Lebih jauh diungkapkan, setiap tindakan pengawasan yang menghasilkan saran perbaikan (sarper) wajib dicatat secara sistematis. Walau produk tersebut tidak serta merta memenuhi unsur formil temporer untuk dijadikan sebagai temuan atau laporan pelanggaran, dokumentasinya tetap bernilai hukum dan institusional sebagai bentuk rekam jejak kerja pengawasan. Dia menginstruksi sarper harus dicatat secara rigid, mulai dari jumlahnya, waktu diterbitkan, hingga objek pengawasannya.

“Kelembagaan pengawas pemilu tidak boleh mengalami disorientasi hanya karena aktivitas tersebut terjadi di luar kalender tahapan. Justru di sinilah letak keunggulan kelembagaan, kita hadir secara substantif, bukan sekadar prosedural,” ajaknya.

Lebih lanjut, Wirka mendorong agar masa non-tahapan dijadikan ruang kontemplatif dan edukatif bagi internal kelembagaan. Pun mengajak seluruh unsur di Bawaslu Denpasar untuk tidak terpaku pada sekat struktural atau sektoral antar divisi. Justru mesti menjadikan pembelajaran lintas divisi sebagai kebutuhan bersama dalam membangun kompetensi kelembagaan.

Menurutnya, Bawaslu membutuhkan kultur kelembagaan yang egaliter dan kolaboratif. Tidak ada ruang bagi ego sektoral dalam pengawasan pemilu. “Penguatan kapasitas harus bersifat lintas fungsi agar kita tidak hanya menjadi pelaksana tugas, tapi juga pengemban tanggung jawab etik dan konstitusional,” ulasnya.

Eksistensi lembaga pengawas pemilu, sambungnya, tidak semata-mata diukur dari keberadaannya di masa tahapan. Selain itu juga diukur dari kemampuan menjaga nalar publik, merawat integritas demokrasi, dan menyemai kesadaran hukum di segala fase waktu. Bawaslu dinyatakan hadir bukan untuk menjadi pelengkap prosedur, tapi untuk menjadi penyangga moral demokrasi.

“Karena itu, kerja-kerja kita, termasuk di masa non-tahapan, harus mencerminkan kesadaran bahwa hukum tidak berhenti di meja formalitas, melainkan hidup dalam praktik keadilan sehari-hari,” serunya menandaskan. hen

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses