Vakum Saat Pandemi, Penenun Kain Bebali Kini Berseri

PENENUN kain bebali di Banjar Dinas Kangin, Desa Seraya Timur, Kecamatan Karangasem kembali bernapas lega karena mulai ada pesanan. Foto: ist

KARANGASEM – Para penenun kain bebali di Banjar Dinas Kangin, Desa Seraya Timur, Kecamatan Karangasem kembali bernapas lega karena mulai ada pesanan. Mereka sempat vakum beraktivitas sejak pertengahan tahun 2020 lalu akibat pandemi Covid-19.

Ketua Kelompok Pencelup dan Penenun Karya Sari Warna Alam, yang khusus menenun kain bebali, I Wayan Karya (50), mengaku sangat bersyukur karena kini mulai menerima pesanan.

Bacaan Lainnya

“Kami ini baru saja bangkit dari keterpurukan, mulai menerima pesanan lagi sejak dua bulan lalu. Meskipun jumlah yang dipesan masih sedikit, tapi tetap disyukuri karena para penenun kembali dapat bekerja,” katanya, Rabu (14/9/2022).

Karya mengatakan, selama pandemi praktis tidak ada pesanan sama sekali. Makanya banyak penenun mencari pekerjaan sampingan. Namun, setelah kembali ada pesanan, mereka dengan semangat kembali bekerja. Pun berharap akan ada terus pesanan, sehingga dapat bekerja berkelanjutan seperti dulu.

“Kami di sini kurang lebih ada 15 penenun yang masih aktif dan sudah kembali bekerja setelah tidak menenun selama dua tahun lebih,” sambung penenun kain bebali sejak tahun 2003 tersebut.

Dia mengklaim tenun kain bebali yang dihasilkan memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan kain bebali lainnya. Sebab, mulai dari proses awal sampai akhir menggunakan cara alami. Bahkan pewarnaan benang pun dilakukan alami tanpa ada sentuhan bahan kimia, sehingga kualitas kain yang dihasilkan juga lebih baik.

“Ada beberapa jenis kain bebali yang dibuat seperti rangrang, skordi, poleng, kalung babintangan, parembon dan yang lainnya. Sejak pertama kali merintis usaha tenun kain bebali, yang paling laris adalah jenis rangrang,” urainya.

Untuk harga, dipatok mulai dari Rp200 ribu hingga Rp5 juta, bergantung motif, tingkat kesulitan dan yang lainnya. Untuk satu kain bisa menghabiskan waktu dari dua minggu hingga tiga bulan, menurut tingkat kesulitannya. Biasanya yang memesan dari Denpasar, bahkan dulu sempat ada dari Jakarta.

Setelah ada pesanan, barulah mereka bekerja. “Kalau tidak ada pesanan seperti saat pandemi, kami tidak melakukan aktivitas sama sekali. Dulu sebelum pandemi kami kadang sampai kewalahan menerima pesanan, tapi sekarang menerima pesanan 20 lembar saja sudah bersyukur,” tandasnya. nad

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses