Ritual Gebug Ende Seraya di Pura Bale Agung Hasilkan Hujan

HUJAN deras mengguyur wilayah Desa Adat Seraya, Karangasem, setelah digelarnya rangkaian tradisi Gebug Ende Seraya yang dipusatkan di Pura Bale Agung. Foto: ist
HUJAN deras mengguyur wilayah Desa Adat Seraya, Karangasem, setelah digelarnya rangkaian tradisi Gebug Ende Seraya yang dipusatkan di Pura Bale Agung. Foto: ist

POSMERDEKA.COM, KARANGASEM – Hujan deras mengguyur wilayah Desa Adat Seraya, Karangasem, setelah digelarnya rangkaian tradisi Gebug Ende Seraya yang dipusatkan di Pura Bale Agung. Tradisi sakral ini merupakan puncak dari Seraya Culture Festival 2025 yang berlangsung sejak 10 hingga 12 Oktober 2025.

Tradisi Gebug Ende kini difokuskan sebagai ritual sakral untuk memohon turunnya hujan. Pelaksanaannya digelar sehari setelah penyineban (upacara penutupan) Usaba Kaja (upacara bantal) pada Sasih Kapat (bulan keempat) di Pura Puseh Desa Adat Seraya. Hujan yang turun dengan intensitas cukup deras pada Minggu (12/10/2025) setelah tiga hari ritual Gebug Ende ini selesai, dianggap sebagai jawaban atas doa masyarakat setempat.

Bacaan Lainnya

Kelian Desa Adat Seraya, I Made Salin, menjelaskan, tradisi ini adalah bagian integral dari ritual adat yang sengaja dirangkai dengan Seraya Culture Festival 2025. “Kami mengemas ritual sakral ini dengan event festival agar pelaku UMKM di Desa Adat Seraya juga bisa berkembang, dan dikenal khalayak luas,” kata Salin saat ditemui, Minggu (12/10/2025).

Dia menegaskan, tradisi Gebug Ende memiliki aturan dan tata cara tersendiri yang tetap dijaga hingga kini. Salin menjelaskan, durasi permainan Gebug Ende Seraya tidak diukur dengan satuan waktu dalam menit, melainkan menggunakan satuan “angkepan”. Umumnya satu pertandingan berlangsung sebanyak tiga kali angkepan.

“Peserta dilarang memukul bagian tubuh dari pantat ke bawah atau kaki. Pukulan hanya diperbolehkan pada bagian tubuh di atas pinggang hingga kepala, dengan cara memukul, bukan menusuk,” ujar Salin menjelaskan aturan mainnya.

Made Salin menambahkan, meskipun zaman terus berkembang, masyarakat Seraya berkomitmen menjaga kelestarian tradisi yang sarat makna spiritual ini. Tradisi Gebug Ende telah ada sejak dahulu kala, dan secara khusus dilaksanakan saat musim kemarau dengan tujuan memohon hujan.

“Desa Adat Seraya merupakan wilayah pegunungan yang kering dan sangat jarang turun hujan. Setelah dilaksanakan tradisi Gebug Ende ini, krama (warga) Desa Adat Seraya tinggal menunggu hujan turun,” tambahnya.

Salin mengajak seluruh warga dan masyarakat untuk bersama-sama melestarikan tradisi ini. “Tujuannya sangat mulia, yaitu untuk memohon hujan. Dengan atau tanpa digelarnya Seraya Culture Festival 2025, tradisi ini akan tetap kami laksanakan,” tegasnya.

Ketua Panitia, I Wayan Supartama menyampaikan, selain menggelar tradisi sakral, festival ini juga dirangkai dengan pameran UMKM. Pameran tersebut menampilkan jajanan tradisional khas Desa Adat Seraya yang berkaitan dengan upacara Usaba selama setahun, kerajinan kain tenun rangrang, dan kerajinan ata yang merupakan mata pencaharian warga Seraya.

“Sebagai tradisi yang telah diwariskan secara turun temurun oleh leluhur, perlu adanya upaya agar tradisi ini diketahui di kalangan generasi muda Desa Adat Seraya. Selain itu, pelaksanaan Gebug Ende ini adalah bagian dari upaya merevitalisasi tradisi kontemporer dari warisan leluhur,” paparnya.

Dia mengakui, selama ini tradisi Gebug Ende lebih sering ditampilkan di luar Desa Adat Seraya ketika ada acara besar. “Sehingga kami kalangan generasi muda mencoba membuatkan festival ini sekaligus mengakomodir pelaku UMKM,” pungkasnya. nad

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses