DENPASAR – Balapan elektabilitas para calon presiden untuk Pilpres 2024 yang terbaru, ternyata masih “segitu-segitu saja”. Dalam survei Litbang Kompas yang dirilis pekan lalu, peringkat tiga teratas lestari dikuasai Ganjar Pranowo (25,3 persen), Prabowo Subianto (18,1 persen) dan Anies Baswedan (13,1 persen). Berbeda dengan Ganjar dan Prabowo yang tergolong kelompok nasionalis, Anies dilabeli sebagai representasi partai Islam. Label itu ada keuntungan dan kekurangan juga untuk Anies, terutama di daerah tertentu.
Membaca hasil survei Kompas, akademisi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Nyoman Subanda, menilai posisi Anies saat ini sudah agak jelas. Diusung oleh Nasdem dan PKS, masyarakat umum memposisikan Anies sebagai calon representatif partai Islam. Label ini juga dikuatkan beberapa pernyataan sejumlah Islam “garis keras” seperti Habib Rizieq dan kawan kawan, Amien Rais dari Partai Ummat, dan tokoh lainnya.
Karena dari aras agamais, dia melihat Anies jadi relatif sulit untuk bisa “dijual” di daerah seperti Bali, NTT, atau Sulawesi Utara yang Islam minoritas. Namun, Anies juga punya kelebihan sebagai figur yang cerdas, akademisi dan berpengalaman sebagai Gubernur DKI Jakarta.
“Modal tersebut tentu juga bisa sebagai magnet tersendiri untuk mendapat dukungan dan menaikkan elektabilitasnya di Bali. Khusus untuk Nasdem, dengan keberaniannya mengusung Anies, memang berpengaruh signifikan terhadap penurunan tingkat elektabilitasnya di Bali. Minimal beberapa tokoh dan elit Nasdem yang pro-nasionalis relatif kurang sreg mendukung kebijakan partai menggoalkan Anies di Bali,” papar Subanda.
Meski bernada pesimis Anies bisa mendulang suara di Bali, Subanda berpandangan situasi bisa saja berubah, bergantung siapa lawan Anies. Jika misalnya partai lain melawan Ganjar atau Prabowo, mungkin suara ke Anies relatif kecil. Namun, jika partai besar mengusung calon seperti Puan Maharani atau pimpinan partai yang lain, peluang Anies akan naik lagi.
Membaca peluang Gerindra menambah suara di Bali dengan menepinya Jokowi karena dua periode, Subanda mengakui Gerindra termasuk partai baru yang cukup kuat dan besar di Bali. Namun, kualitas dan kapabilitas tokoh-tokoh Gerindra di legislatif relatif standar, belum ada menonjol setelah Ida Bagus Sukarta meninggal. Kalau Gerindra hanya mengandalkan elit-elitnya yang ada di Bali, nampaknya mereka harus kerja ekstra keras untuk melawan kader partai lain yang punya kapabilitas dan akseptabilitas yang lebih baik.
“Faktor Prabowo masih jadi faktor dominan dan magnet terkuat untuk memilih Gerindra sebagai saluran politik. Walaupun Prabowo tidak maju sebagai calon presiden, sepanjang masih menjadi Ketum Gerindra, apalagi kalau mau turun langsung ke Bali, tingkat elektabilitas Gerindra mungkin masih bisa dipertahankan,” ulas Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik Undiknas itu.
Disinggung isu ada partai parlemen tertentu yang mulai kesulitan mencari atau mendapat caleg karena dinamika dan konstelasi politik terbaru, Subanda mengaku tidak memiliki informasi yang kredibel tentang itu. Malah, sambungnya, hampir semua pimpinan partai yang diajak diskusi atau diminta informasi, mengaku tidak kesulitan mencari caleg di Bali. “Saya tidak tahu apakah mereka hanya basa-basi atau berusaha optimis, yang jelas mereka tidak mengaku kesulitan mencari caleg. Malah mereka bilang sampai harus menyeleksi mencari caleg,” paparnya menandaskan.
Berdasarkan informasi sejumlah sumber, ada dua partai parlemen disebut-sebut mulai kesulitan mencari caleg di Bali gegara situasi di Jakarta. Situasi itu terjadi karena partai ini mendukung Anies, yang dilabeli didukung Islam politik, sebagai capres. Ada kader partai A di DPRD Denpasar santer diisukan lompat ke partai B, ada kader partai C di DPRD Bali juga diisukan tidak mau lagi dicalonkan ke ke Provinsi karena takut kalah di dapilnya. hen