REKAM jejak dalam gelanggang politik nasional, lagi-lagi, menabalkan PDIP sebagai paling perkasa dalam survei persepsi publik. Mencanangkan hattrick kemenangan, PDIP memiliki elektabilitas 22,9 persen. Selain karena prestasi kader, terutama di eksekutif, kuatnya persepsi positif turut disumbang oleh figur Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum (Ketum).
Menuju Pemilu 2024, Litbang Kompas mengadakan survei periodik di 38 provinsi pada 25 Januari-4 Februari 2023, melibatkan 1.202 responden dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error 2,83 persen. Mantan seteru yang kini jadi sekutu PDIP, Partai Gerindra, membayangi di posisi kedua dengan 14,3 persen. Ada disparitas lumayan lebar antara keduanya, mencapai 8,6 persen. Partai Golkar dengan elektabilitas 9 persen kini di posisi ketiga, menggusur Partai Demokrat yang turun ke posisi keempat dengan 8,7 persen.
Pada survei ini terlihat ada tiga modal sosial yang menyebabkan partai parlemen cenderung stabil dan relatif bisa bertahan pada Pemilu 2024. Modal itu adalah popularitas, basis pemilih yang relatif loyal, dan kekuatan sosok tokoh partai, terutama ketum. Tulisan ini lebih membahas pada variabel sosok ketum.
Dari 18 ketum partai di negeri ini, Mega satu-satunya perempuan di lautan laki-laki, dan menjadi Ketum sejak tahun 1993 sampai kini. Tiga dasawarsa mengampu PDI sampai menjadi PDIP, berkelindan dengan popularitas tertinggi, mencapai 94,9 persen. Cuma Prabowo Subianto sebagai Ketum Gerindra yang mampu menempel dengan 94,5 persen.
Meski kalah populer, akseptabilitas Prabowo mencapai 72,2 persen, lebih tinggi 20,4 persen dibanding Mega yang 51,8 persen. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai new kids on the block, berada di peringkat ketiga dengan popularitas 58,9 persen dan akseptabilitas 37,1 persen. Politisi senior dan sering tampil di televisi miliknya, Surya Paloh, selaku Ketum Nasdem, popularitasnya hanya 53,1 persen dan akseptabilitas 33,9 persen. Konklusinya, popularitas tidak mesti beriringan dengan akseptabilitas.
Sejauh ini, hanya Mega juga yang terlihat konsisten atas suatu pilihan politik. 2004 sampai 2014 terbuang dari pusat kekuasaan, tidak melunturkan tekadnya menjadi oposisi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 10 tahun jadi “penonton”, Mega mengajarkan kader bagaimana rakyat menghukum partai pemenang Pemilu 1999 itu ketika dinilai tidak merakyat. Terlepas apakah keputusan itu murni kalkulasi politik atau emosional belaka, tapi bahwa internal tetap patuh, berarti Mega mampu memahami alam pikiran dan suasana kebatinan kader.
Keunggulan Mega yang tidak tertandingi adalah menjadi simbol penantang rezim Orde Baru yang otoriter. Dia dibuntuti intel, partai direkayasa konflik internal, sampai dikudeta dari Ketum PDI tahun 1996. Buah deraan itu, Mega menjaring kader dan simpatisan loyal yang berujung keberhasilan, dan jadi simbol, membangun partai kader dari semula partai massa. Represi Orde Baru pula justru menghadirkan kesan (kala itu), terutama di kalangan rakyat bawah dan marginal, Mega adalah Ratu Adil, sosok mesias yang diharap dapat menyelesaikan pelbagai kesulitan hidup.
Mega juga pendobrak mitos politis berbau ilahiah bahwa “pemimpin harus laki-laki” di negeri yang kuat budaya patriarki. Sampai kini hanya Mega, terlepas intrik dan pergulatan di baliknya, perempuan di Indonesia yang pernah menjadi Presiden.
Dari data itu bisa disimpulkan, Mega unggul dari sisi popularitas, punya modal simbolik, dan dipersepsikan konsisten atas pilihan politik, sebesar apa pun resistensi internal atau eksternal. Dalam konteks kepemimpinan, data di atas dapat dimaknai sekurang-kurangnya tiga hal.
Pertama, sosok ketum atau tokoh partai diidealisasi memiliki sikap konsisten. Ini tantangan bagi ketum partai lain untuk mengimitasi sikap Mega, tentu beda bentuk dan segmentasi. Efek ekor jas Prabowo yang mendongkrak elektabilitas Gerindra, antara lain, buah konsistensi melawan Jokowi dan PDIP selama 2014-2019.
AHY sebenarnya memiliki kesempatan dengan menggaungkan isu kudeta Demokrat pada 2021. Hanya, meski AHY populer di kalangan milenial, kurang solidnya internal membuat momentum untuk dipersepsikan “konsisten melawan penguasa” atau menghadirkan perubahan, kurang tereksplorasi. PKS juga memiliki peluang besar mendapat insentif elektoral karena konsisten jadi oposisi pemerintah. Sayang, narasi politik mereka kurang pluralis, ditambah citra PKS yang terkesan eksklusif untuk kelompok Islam politik.
Kedua, modal simbolik tidak harus melalui peristiwa besar. Simbol bisa diproduksi sendiri, tapi kekuatannya bergantung variabel lain yakni konsistensi. Jokowi menjadi dan dijadikan simbol pemimpin merakyat, bukan elitis. Kebiasaan Jokowi berdialog secara egaliter dan cair dengan rakyat kecil sejak ikut Pilkada Solo 2005, berlanjut ke Pilkada DKI 2012 dan Pilpres 2014, berjalan alamiah seiring simbol yang disematkan. Berhubung dia kader PDIP, gaya komunikasi dan kebijakannya yang kiri tengah itu kemudian diamplifikasi sebagai titisan Soekarno.
Ketiga, ketika tokoh partai memiliki modal simbolik dan dipersepsikan konsisten, besar peluang terkereknya popularitas dan elektabilitas partai, plus menciptakan pemilih setia. Di era digital ini, nyaris tidak ada tokoh politik luput dari mata kamera dan media sosial. Sisi mudaratnya, “cacat” sekecil apapun akan cepat tersaji ke ruang publik. Sisi manfaat, sebagai pengingat tetap menjaga tindak tanduk dan kebijakan partai agar selaras kepentingan rakyat, minimal pemilih setianya. Singkat tutur, kerja keras, kerja nyata, jangan pakai cara instan atau sensasional mendulang popularitas atau elektabilitas.
Peribahasa Jawa mengatakan ”raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah”. Pesannya sederhana: jalankan kewajiban sebagai pemimpin sebaik-baiknya, dan biarkan publik menilai sesuai alam pikiran mereka. Dalam lingkup partai, peribahasa itu dapat diterjemahkan sebagai “ketum merakyat partai kuat, ketum rapuh partai runtuh”. Gus Hendra