POSMERDEKA.COM, DENPASAR – Ketatnya kompetisi memperebutkan kursi legislatif, membuat para caleg mesti melakukan banyak cara untuk mencuri suara konstituen. Salah satu, dan yang paling sering dilakukan, adalah praktik politik klientelisme atau politik uang.
“Politik uang itu menjadi diferensiasi (pembeda) ketika kompetisi makin tinggi, baik itu di internal maupun eksternal partai politik. Apalagi hari-hari menjelang pencoblosan seperti saat ini,” sebut akademisi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Dr. Nyoman Subanda, Senin (5/2/2024).
Menurut Subanda, sebenarnya ada sejumlah cara untuk membuat diferensiasi politik. Misalnya merebut konstituen dengan pendekatan berbeda secara tradisional di masyarakat komunal seperti subak atau kelian adat. Hal ini masih galib berlaku di beberapa daerah di Bali, terkecuali Buleleng yang dinilai mandiri secara politik.
“Buleleng itu pesisir, bicara sejarah, di sana ada orang rantau, pemberontak juga banyak, nyineb wangsa juga banyak. Ketika sekarang di era pemilu, dia mandiri secara politik,” ulas putra Buleleng ini.
Dalam politik kontemporer, ungkapnya, yang paling menonjol saat ini adalah modal finansial untuk menentukan politisi lolos atau tidak. Modal sosial dalam bentuk jejaring pertemanan memang perlu, tapi penentu tetap modal finansial. Ini yang bertransformasi menjadi praktik jual-beli suara.
“Yang main itu caleg partai kecil, tapi partai besar juga ada. Ya itu tadi, karena dalam sistem proporsional terbuka ini persaingan ketat itu kan dari dalam juga, sesama teman partainya,” papar Dekan Fakultas Sosial dan Humaniora Undiknas tersebut.
Lebih jauh diutarakan, hasil observasi kecil-kecilan yang dilakukan di sejumlah desa, caleg di semua tingkatan banyak dan sudah mencari sumber pendanaan di lembaga keuangan. Tujuannya untuk modal amunisi menjelang pencoblosan 14 Februari nanti. Harga suara variasi, mulai Rp100 ribu sampai Rp200 ribu per suara.
Soal pengaruhnya jika kemudian ada pialang suara atau caleg apes ditangkap aparat hukum, Subanda memandang publik tidak terlalu hirau dengan situasi itu. Malah praktik politik uang yang secara regulasi adalah praktik ilegal, justru dilihat publik sebagai “kenormalan baru” alias oke-oke saja.
“Dulu Pemilu 2019 ada kasus caleg di Buleleng yang dilaporkan internalnya melakukan politik uang, diperiksa sampai di mana-mana, tapi buktinya sampai sekarang baik-baik saja. Tetap menjabat orangnya. Artinya apa? Publik ya biasa-biasa saja,” ungkapnya.
Menimbang sudah ada gejala praktik politik uang akan muncul, dia mengimbau semua stakeholder meningkatkan kewaspadaan. Jika memang aparat terkait seperti KPU, Bawaslu atau kepolisian ingin minta data penelitian yang dilakukan, dia mendaku siap memberikan. “Persoalannya, apakah itu mau ditindaklanjuti atau tidak?” lugasnya dengan nada retoris.
Di kesempatan terpisah, Kordiv Penanganan Pelanggaran Bawaslu Bali, Wayan Wirka, lembaganya rutin melakukan cegah dini pelanggaran dalam bentuk surat, di setiap kegiatan peserta Pemilu 2024. Pun pengawasan melekat di setiap kegiatan. Patroli pengawasan juga dijalankan bersama Sentra Gakkumdu yang di dalamnya terdapat kepolisian dan kejaksaan.
“Sejauh ini belum ditemukan praktik politik uang. Dugaan, kalau ada, itu di luar ruang pelaksanaan kampanye. Siapa tahu misalnya setelah kampanye, pengawas hilang, caleg bubar, ada orang atau tim caleg yang bagikan dan tidak terpantau. Kami dengar kasak-kusuk itu, tapi bukti belum ada,” tuturnya.
Disinggung potensi “serangan fajar”, Wirka mendaku menyusun tim patroli dengan Sentra Gakkumdu pada masa tenang dan pungut-hitung suara. Harapannya dapat memberi efek gentar kepada operator politik uang. Dia juga menjamin menindaklanjuti jika ada laporan potensi transaksi suara.
“Patroli kami rasa efektif mencegah, minimal kalau lihat pakaian polisi dan kejaksaan di Sentra Gakkumdu orang jadi mikir juga bagi-bagi uangnya. Kami jamin setiap info akan ditindaklanjuti, sekecil apa pun itu,” pungkasnya. hen