Wacana “Sradak-Sruduk di Bali” Koster: Ke Siapa Batu Dilemparkan?

Gus Hendra. Foto: AI
Gus Hendra. Foto: AI

WAYAN Koster mungkin tak sadar sejatinya punya banyak kuasa, meski terkadang paradoks. Dia Gubernur dengan kekuatan birokrasi di Pemprov Bali, juga Ketua DPD PDIP Bali yang memiliki 5 dari 9 kursi di DPR RI. Namun, Koster justru mengkritik DPR RI dari Bali, dan itu berarti mengkritik kadernya sendiri, yang dialah sang pengendali.

Kontradiksi tersebut muncul ketika Koster bertemu ratusan stakeholder pariwisata Bali di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Denpasar, Kamis (30/10/2025). Saat itu, Koster menilai besarnya kontribusi Bali belum sebanding dengan anggaran pembangunan infrastruktur dari pemerintah pusat. Belum majunya infrastruktur, yang terlihat dari masalah macet, menjadi fokus kritiknya.

Bacaan Lainnya

“Ini yang sedang saya gaungkan. Cuma DPR/DPD kita nggak tahu apa yang harus dilakukan, harusnya yang begini-begini baru berfungsi dia. Bukan ngurusin seradak-seruduk, ke sana ke mari, nggak manfaat,” tudingnya, seperti dimuat sejumlah media. Sayang, dia tidak tunjuk “siapa”, sehingga melahirkan pertanyaan dan spekulasi.

Salah satu anggota DPR dari Bali yang merespons wacana itu adalah Gde Sumarjaya Linggih alias Demer. Dia menyentil Koster agar menjelaskan lebih detail siapa yang dimaksud “sradak-sruduk di Bali” itu, sehingga tidak terkesan menggeneralisir. “Saya yakin yang dimaksud bukan saya, dan beliau tahu kinerja saya. Jadi, siapa yang dimaksud?” cetusnya, Selasa (4/11/2025). Meski nadanya santun, terendus aroma menegur dari politisi yang pernah bareng Koster di DPR itu.

Sebagai politisi kawakan, Koster seperti lupa, lolosnya UU Nomor 15/2023 tentang Provinsi Bali adalah hasil kerja sama, lobi-lobi dan perjuangan semua wakil rakyat Bali di Senayan. Berkat UU tersebut, Bali sah menerapkan Pungutan bagi Wisatawan Asing (PWA) sejak 2024, yang kemudian menjadi modal simbolik keberhasilan pemerintahannya. Koster tercatat sebagai Gubernur Bali pertama yang kreatif, inovatif dan regulatif untuk mendulang pendapatan dari wisatawan asing. Namun, dari fakta itu juga terlihat bahwa modal simbolik diperoleh secara “keroyokan”, bukan hanya dia seorang berjuang, meski jika ingin mengglorifikasi itu juga sah-sah saja.

Selanjutnya, narasi “seradak-sruduk di Bali” itu sebenarnya ditujukan kepada siapa? Seyogianya tidak disamaratakan jika memang ada oknum begitu. Jika DPR, wakil partai mana? Jika DPD, siapa sosoknya? Sebagai catatan, PDIP merebut 5 dari 9 kursi DPR dari Bali, yang justru jadi salah satu catatan keberhasilan Koster juga menakhodai partai. Karena itu, sangat oksimoron ketika Koster mengkritik DPR dari Bali, yang dominan adalah kadernya sendiri. Pertanyaan sederhana: kenapa tidak dia dorong lebih kuat kadernya memperjuangkan infrastruktur di Senayan? Apalagi legislator Nyoman Parta asal Gianyar adalah Kapoksi PDIP di Baleg DPR, punya posisi strategis memfasilitasi lahirnya regulasi.

Lalu, apa batasan “sradak-sruduk” itu? Ataukah, jangan-jangan, setiap kritik terhadap kebijakan Gubernur akan digolongkan sebagai sradak-sruduk? Semoga tidak demikian. Sebab, disadari atau tidak, wacana tanpa kejelasan konteks dan orangnya itu dapat tergelincir pada interpretasi liar, bahwa Koster secara diam-diam membentuk hegemoni wacana kebenaran tunggal; seakan figur yang paling benar dan paham Bali hanya dia seorang.

Idealnya, kepala daerah bekerja sama dengan semua elemen untuk bantu mewujudkan cita-citanya membangun daerah. Jika wacananya bernada menyudutkan, justru memantik pertengkaran destruktif yang tidak bermanfaat bagi pembangunan, rakyat dan kemajuan daerah. Jangan lupa, saat kampanye Pilkada Bali 2024, dia sendiri berjanji akan mengatasi apa pun masalah Bali. DPR dan DPD itu sifatnya perbantuan, bukan eksekutor, karena tidak punya visi-misi seperti dijanjikan ke rakyat seperti Gubernur.

Mempercakapkan infrastruktur, pasangan Koster-Giri saat debat kandidat membuat paparan visual bagaimana visi dan misi Nangun Sat Kerthi Loka Bali akan diwujudkan. Salah satunya soal pembangunan infrastruktur jalan di banyak titik, untuk mengatasi kemacetan. Sekarang sudah terpilih, ya tinggal realisasikan sesuai janji kampanye saja. Caranya bagaimana, percayakan Koster memilih jalannya.

Selain itu, jika Gubernur boleh membanggakan penghargaan atas kinerja pemerintahannya, dia juga mesti berbesar hati menerima kritikan atas sesuatu yang dinilai belum beres. Sebagai pejabat publik, kritik dan pujian ibarat tangan kanan dan kiri dari tubuh yang sama. Jika kritik diposisikan sebagai ancaman “kebenaran”, lalu apa yang tersisa dari demokrasi kita selain tepuk tangan?

Mengutip pandangan John Gaventa, selain punya kekuatan birokrasi selaku Gubernur (Visible Power), Koster juga punya kekuatan sebagai Ketua DPD PDIP Bali (Hidden Power). Yang terakhir ini sifatnya cair, mudah berubah bergantung konteks, menjadi Visible Power (kekuatan terlihat), Invisible Power (kekuatan tidak terlihat), dan Hidden Power (kekuatan tersembunyi). Dengan kuasa itu, Koster sebenarnya punya ruang merekomendasikan kader Bali di DPR duduk Komisi V, yang membidangi infrastruktur. Bahwa itu tidak terjadi, justru di situ paradoksnya: apakah enggan memberi panggung kader yang berpotensi populer memperjuangkan Bali, atau karena memang kuasa formal dia terbatas? Hanya dia yang tahu.

Terlepas dari polemiknya, perdebatan wacana secara konstruktif di ruang publik adalah keharusan, untuk mengedukasi rakyat bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Publik diajari saling menghormati dalam perbedaan, dan bekerja sama dalam kesamaan. Acapkali esensi kritik itu bukan soal gaya, tapi soal keberanian dan kesempatan rakyat untuk bicara. Nitisastra sargah V bait 3 juga mengajarkan bahwa karena bicara kita menemukan kebahagiaan,  kesusahan, sahabat dan kematian.

Di atas semua perbedaan warna, kepentingan, ideologis, dan sebagainya, satu hal yang mesti dirawat adalah semangat bersatu dalam berjuang demi kepentingan rakyat serta masa depan Bali. Keberhasilan membangun Bali adalah keberhasilan bersama, terlepas siapa pemimpinnya, sebagaimana kegagalan di Bali adalah kegagalan bersama tanpa harus saling menyalahkan. Dan, sebaik-baiknya seorang pemimpin, diukur bukan hanya dari seberapa banyak membangun, tapi juga dari seberapa lapang dadanya menerima suara yang tidak dia suka. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses