DIHITUNG sejak Pemilu 2004, Bali tidak pernah mengecewakan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP dengan konsisten menang Pilpres. Memang jumlah pemilihnya tidak berlimpah ruah di Jawa misalnya. Namun, karena Bali dominan umat Hindu, maka kemenangan di Bali lebih diposisikan sebagai kemenangan simbolik atas kaum minoritas.
Sayang, kini semua itu tinggal sejarah. Alih-alih sesuai target Ketua DPD PDIP Bali, Wayan Koster, suara paslon Ganjar-Mahfud justru berantakan di Bali di Pilpres 2024 sesuai hasil hitung cepat. Bahkan mengejutkan Koalisi Indonesia Maju yang mengusung, perolehan paslon Prabowo-Gibran justru menjulang selisih tajam. Meski diprediksi suara Ganjar-Mahfud akan jauh di bawah perolehan Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019 yang 91,68%, tapi sampai berstatus pecundang tentu tak terbayangkan. Ada apa dengan PDIP di Bali?
Bicara usia, basis pendukung setia PDIP, terutama merujuk sosok Megawati, di Bali saat ini usianya jelas tidak muda lagi. Rentang waktu 1999 sampai 2024, ada jurang generasi yang tidak merasakan suasana kebatinan bagaimana kisah PDIP berdarah-darah melawan Orde Baru yang otoriter. Pemilih muda hari ini sulit digiring memilih calon yang tidak mereka kenal personal, atau minimal merasa ada kedekatan. Bagi generasi X, Megawati masih mungkin diidolakan. Tapi tidak bagi generasi Y atau Z, yang menjadikan konten media sosial (medsos) sebagai referensi dan literasi politiknya.
Dengan segala pengalaman dan rekam jejak, Megawati sebenarnya sulit dicari tandingan. Hanya, kelebihan dia itu juga kekurangannya. “Kutukan” orang terlalu lama memimpin adalah dia seakan (di)putus dari realitas oleh sekelilingnya. Gaya komunikasi politik Megawati, disadari atau tidak, seperti kurang adaptif dengan keadaan terkini.
Megawati masih gemar memakai diksi yang menonjolkan kelebihan dia personal, sesuatu yang tidak disukai orang, terutama generasi Z. Atau memakai narasi dan gestur yang memperlihatkan kemarahan kepada siapa saja, yang melahirkan perundungan di medsos terhadap dia, PDIP, dan paslon Ganjar-Mahfud. Sederhananya begini: gaya komunikasi meledak-ledak dan konfrontatif Prabowo pada Pilpres 2014 dan 2019, dan terbukti berujung gagal menang, justru diimitasi Megawati kali ini. Suasana kebatinan anak muda di medsos itu dikapitalisasi 02, dengan membuat lebih banyak gimmick atau konten yang disukai walau nirkualitas.
Mega seakan lupa hari ini adalah rezim medsos, era di mana tokoh politik idealnya menjaga betul jangan sampai diframing buruk. Era Megawati berkibar adalah era media konvensional seperti koran, radio dan televisi, yang relatif satu arah. Sangat berpunggungan dengan medsos, yang dua arah dan mudah menciptakan realitas sendiri atau simulakrum.
Gaya kampanye 03 yang kencang menyerang Gibran dan pribadi Presiden Jokowi, membuat banyak gen Z jadi antipati. Mereka tidak ambil pusing dengan program, narasi, atau kegaduhan di elite. Yang penting hasrat sebagai homo luden tersalurkan, tidak ketinggalan trend gemoy, dan “percaya” calon yang paling dekat secara usia yang paling paham apa mereka mau. Asumsi itu mendapat justifikasi Gibran yang cukup lihai memainkan citra tersebut, terlepas dari semua kekurangan Gibran dari kacamata kaum terdidik, intelektual atau perkotaan.
Kekalahan di Bali, dan Jateng, sebagai basis PDIP seyogianya menjadi alarm internal berbenah diri, adaptif dengan perkembangan zaman, dan tidak terus menyangkal ketika realitas tidak sesuai harapan. Gimmick “sorry yee” oleh Prabowo yang diselipkan dalam lagu “Torang Gas”, ternyata mudah diingat, disukai dan sering didengarkan gen Z lewat gawai. Atau gimmick gemoy yang bahkan ada tutorial jogetnya, dan terakhir gimmick Gibran dengan gestur mencari jawaban saat debat dengan Mahfud Md. Satu lagi, kekesalan anak muda atas sikap Ganjar dan Koster menolak Indonesia jadi tuan rumah Piala Dunia U20, juga jadi handicap Ganjar di Pilpres. Mungkin bagi kelas menengah ke atas atau kaum terdidik, gimmick macam itu kampungan atau norak. Namun, itu disuka kelas menengah ke bawah dan anak muda, yang kuantitasnya besar dan ceruk suara potensial untuk mendatangkan kemenangan.
Selain anak muda, bagi kalangan emak-emak, entah kebetulan atau didesain, tergarap serius dengan gimmcik gencarnya sorotan kepada Mayor Teddy, ajudan Prabowo Subianto, yang berparas tampan. Lihat saja penonton video di akun Tiktok Mayor Teddy mencapai jutaan orang, dengan komentar sampai puluhan ribu yang nyaris semua adalah emak-emak! Pula isu dibatalkannya Bandara Bali Utara oleh Megawati jadi penyumbang runtuhnya lumbung suara, terutama di kalangan kelas pekerja sektor pariwisata.
Melihat sejarah, sejatinya nyaris mustahil mengalahkan PDIP yang begitu solid dan kuat infrastrukturnya sampai di tingkat desa di Bali. Menang di Pileg tapi kalah di Pilpres, sulit tidak menyebut ada unsur terjadi benturan kepentingan antarfaksi di internal. Seperti pernah penulis ulas sebelumnya, jika Ganjar-Mahfud menang sesuai target 95%, lalu direvisi 80%, yang paling diuntungkan adalah Koster. Jika kalah, Koster juga tidak rugi, karena dia bisa menimpakan kesalahan kepada kader yang tidak optimal bekerja di bawah.
Bahwa kemenangan Prabowo-Gibran banyak disumbang suara gen Z, tapi sukar semasif itu jika tidak ada pembiaran, sekurang-kurangnya rekalkulasi politik, oleh tataran elitenya. Musuh dari musuhku adalah temanku. Ada irisan kepentingan antara eksternal yang bernafsu mencicipi kemenangan di Bali pada Pilpres 2024, dengan internal yang diduga punya agenda melemahkan nilai tawar Koster di mata DPP.
Caranya? Lepaskan Pilpres tapi tetap perkuat Pileg. Sekarang tinggal bagaimana PDIP mengonsolidasikan kekuatan kembali, terutama memasuki tahapan Pilkada Serentak pada November mendatang. Yang jelas kemenangan Prabowo niscaya membawa perubahan dalam lanskap politik lokal Bali. Minimal memaksa PDIP sebagai “singa parlemen” untuk berhitung kembali dalam memilih calon, mitra koalisi, gaya kampanye, dan segmentasi yang disasar.
Bagi yang masih kesal, sah-sah saja menuding Prabowo-Gibran menang Pilpres minim kualitas, karena banyak pemilih dari gen Z bukan karena tawaran program yang ditawarkan, tapi karena gimmick. Tapi faktanya, pemimpin terpilih memang tidak menjamin dia yang terbaik. Prabowo katanya lebih kapabel dibanding Jokowi, toh yang menang Jokowi. Dua kali Pilpres pula. Ya, begitulah kira-kira. Gus Hendra