DENPASAR – Berlimpahnya pelamar yang ingin menjadi PPS dalam Pilkada Denpasar, dinilai sebagai bentuk makin tingginya kesadaran masyarakat menjadi penyelenggara pemilu. Di sisi lain, bergairahnya orang menyasar juga lantaran melihat posisi PPS cukup strategis sebagai batu loncatan karir di bidang kepemiluan. Hal itu diutarakan Ketua KPU Denpasar, Wayan Arsajaya, Rabu (11/3/2020).
“Melihat latar belakang yang melamar, ya bisa dikatakan kesadaran politik warga Denpasar itu tinggi. Atau bisa juga karena melihat PPS itu sebagai karir, karena dari PPS mereka bisa saja naik menjadi PPK dan KPU,” lugasnya sambil tersenyum, ditemui usai tes wawancara calon PPS di KPU Denpasar.
Terlepas dari motif pelamar tersebut, Arsajaya tetap tak bisa menyembunyikan kegembiraannya dengan membeludaknya peminat. Apalagi latar belakang mereka juga beragam. Ada yang mahasiswa, ada tenaga ahli perbekel, ada yang pernah berkecimpung dalam pemilu, dan sebagainya. Meski, sambungnya, ada juga yang masih benar-benar baru dalam kepemiluan. Pendek kata, mereka semua terpanggil untuk berpartisipasi di Pilkada Denpasar.
Hal lain yang membuat peminat PPS jauh melampaui ekspetasi, urainya, yakni adanya pemikiran Pilkada Denpasar akan landai. Tidak seribet dan “semenakutkan” ketika menjadi PPS saat Pemilu Serentak 2019 lalu, di mana banyak penyelenggara jadi korban karena kepayahan. Menjadi PPS di level pilkada niscaya tidak perlu begadang seperti saat Pemilu 2019 itu. Mereka beramai-ramai melamar itu juga memperlihatkan cukup efektifnya pola komunikasi KPU, yang menggunakan media sosial untuk pemberitahuan rekrutmen. “Kebanyakan sih tahunya lewat Instagram kami,” urai pria yang merintis karir penyelenggara pemilu dari level PPS tersebut.
Meski pekerjaan PPS dalam pilkada relatif ringan, Arsajaya tetap mengingatkan mereka bekerja sesuai patokan yang digariskan KPU melalui buku petunjuk. Kata dia, semua mekanisme kerja sudah ada buku panduan, dan PPS tinggal mengikuti itu saja agar tidak tersesat kala bekerja. Selama ini, imbuhnya, PPS dan KPPS yang masih baru cenderung memakai patokan buku panduan. Sementara yang punya pengalaman, cenderung malas membaca karena merasa sudah tahu.
“Kerja kepemiluan itu pakai standar buku panduan, karena itu dibuat seringkas mungkin oleh KPU RI. Kalau pakai berdasarkan pengalaman, bisa saja aturannya ada berubah dan ini akan menyulitkan diri sendiri saat bekerja nanti,” pesannya. hen