MUSDA Partai Golkar akan dilaksanakan pada Sabtu (22/2/2020) besok. Dari sejumlah agenda, yang paling dinanti hasilnya adalah roda suksesi di DPD I Partai Golkar Bali yang selama ini diampu Gde Sumarjaya Linggih alias Demer.
Sempat muncul nama Sekretaris DPD I Golkar Bali, Nyoman Sugawa Korry; Ketua Komisi 2 DPRD Bali, IGK Kresna Budi, serta mantan Bupati Karangasem, Wayan Geredeg, sebagai pesaing Demer. Ini menghadirkan aroma kompetisi ketat, sekurang-kurangnya di media massa.
Pertanyaannya, benarkah Musda Golkar kali ini akan sedinamis itu?
Melihat DNA Golkar yang teruji dan terbukti adaktif dalam percaturan politik, penulis cukup pesimis akan melihat dinamika dalam artian harfiah dalam Musda tersebut. Tanpa bermaksud meramal, Musda terlihat lebih sebagai basis legitimasi Demer melanjutkan kontrolnya dari status Plt Ketua menjadi Ketua definitif.
Landasan berpikirnya: Pertama, setiap organisasi, termasuk partai, butuh ikon yang dapat menjadi perekat organisasi. Usai Sudikerta dicopot karena kasus penipuan pada tahun 2018, DPP Golkar menunjuk Demer sebagai Plt Ketua untuk menggantikan Sudikerta.
Terlepas dari manuver dan kekurangan Demer yang membuat konflik internal usai mencopot sejumlah ketua DPD di Bali, hasil pileg 2019 Golkar tetap berada di posisi 2 di Bali. Jika hasil ini dipakai tolok ukur, sulit untuk tidak menyebut Demer berhasil memimpin dan jadi ikon partai dalam kondisi darurat.
Kedua, disengaja atau tidak, pencopotan lima ketua DPD itu juga membuat Golkar menjadi media darling. Dalam konteks komunikasi, kupasan media justru memberi Golkar panggung gratis di mata khalayak. Publik yang sebelumnya tidak tahu tahu, akhirnya tahu bagaimana mekanisme Golkar mengelola konflik internal melalui Mahkamah Partai. Hal ini memberi pesan bahwa Golkar adalah partai modern yang tidak bergantung kultus individu, berbeda dengan PDIP atau Gerindra misalnya.
Ketiga, di era Demer justru terjadi anomali politik di mana Golkar tetap laris dilirik para calon kepala daerah. Datangnya Bupati Karangasem, IGA Mas Sumatri; dan Made Subrata, kader PDIP yang juga adik Bupati Bangli Made Gianyar, menandakan Golkar tidak bisa dipandang remeh partai lain dalam kontestasi pilkada. Suka tidak suka harus diakui itu terjadi karena fleksibilitas Demer menjalin komunikasi dengan elit partai lain, pun kelihaian dia beretorika di media.
Keempat, munculnya nama Sugawa dan Kresna Budi patut diduga hanya gimmick politik belaka, untuk tidak menyebut mereka justru proxi Demer menanjak ke kekuasaan. Dengan kelenturan dan kesabarannya, Sugawa selama ini setia menjadi benteng Demer di media sebelum, saat, dan usai sidang Mahkamah Partai. Sementara Kresna Budi diketahui merupakan adik ipar Demer.
Jadi, sulit rasanya berharap mereka akan menggebu-gebu menantang Demer seperti Geredeg atau Gus Adhi misalnya. Jangan lupa, ketiganya sama-sama berasal dari Buleleng yang dikenal relatif solid dalam menjalin koalisi kekuasaan. Karena itu, tidak ada alasan melihat Musda akan penuh dinamika. Apalagi Golkar terlatih menyelesaikan konflik dengan cara bagi-bagi kekuasaan. DNA Golkar adalah berkuasa, maka sejauh itu bisa memberi kekuasaan maka mereka akan tetap anteng saja.
Kelima, Demer sebelumnya mendaku maju atau tidaknya ke Musda menanti restu Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar. Kini Demer maju sembari menyebut sudah direstui Airlangga. Pernyatan itu bisa diartikulasikan bahwa Demer adalah calon yang diinginkan Airlangga di Bali. Atau, dalam skenario terburuk Demer tidak terpilih sebagai Ketua DPD lagi, pengurus inti DPD adalah mereka yang selama ini menjadi loyalis Demer tatkala menjabat Plt Ketua.
Sosiolog Erving Goffman mencetuskan teori dramaturgi untuk meneropong bagaimana seseorang membawakan peran dan karakter secara individu dalam kehidupan, termasuk dalam panggung politik. Di panggung depan, publik atau penonton ditunjukkan bagaimana kerasnya kontestasi para kandidat untuk berkuasa, bila perlu saling sikut.
Di panggung belakang yang tidak diketahui publik, para aktor kembali ke pribadi aslinya yang bisa jadi sangat berbeda dengan peran di panggung depan. Di panggung drama para aktor bisa saling baku hantam untuk memberi efek dramatisir atas suatu peran, di panggung belakang mereka dapat terbahak-bahak bersama.
Segendang sepenarian dengan menonton drama kontestasi menduduki kursi Ketua DPD I Partai Golkar Bali, khalayak ditunjukkan dengan sajian berita hangatnya dinamika dan hasrat berkuasa yang muncul. Si A ngotot maju, si B optimis menghadang, si C tak kurang gemas untuk melawan.
Namun, sejauh itu politik praksis, semua itu niscaya akan berakhir dengan happy ending untuk semua. Setidak-tidaknya bagi mereka yang kebagian kuasa. Dari banyak peluang suksesi, melihat Demer ditabalkan sebagai Ketua definitif adalah kemungkinan paling besar terjadi. (Gus Hendra)