“KALAU kebijakan ini dilakukan, artinya Badung sudah jatuh tertimpa tangga. Atau bisa jadi diinjak pula nanti itu,” kata Wakil Bupati Badung, I Ketut Suiasa, Kamis (27/2/2020) mengomentari kebijakan pemerintah pusat membendung pungutan Pajak Hotel dan restoran (PHR) untuk enam bulan sejak Maret 2020.
Sulit menyembunyikan terselip nada emosional dalam pernyataan Suiasa itu, meski terasa wajar mengingat betapa Badung sangat bergantung dengan PHR yang menyumbang 80 persen untuk PAD. Memakai asumsi tahun 2019, potensi kehilangan pendapatan selama enam bulan minimal Rp 1,6 triliun. Sialnya, pusat menggolongkan Badung sebagai daerah otonom dengan celah fiskal negatif, yang berarti bantuan fiskal APBN untuk dana perimbangan daerah jadi sangat rendah. Itu tadi dilihat dari aspek ekonomi, lalu bagaimana dari aspek kebijakan publik dan politik, terutama menjelang pilkada?
Khalayak di Bali mafhum sejak era Bupati Nyoman Giri Prasta betapa rakyat Badung dimanjakan pelbagai kebijakan publik yang prorakyat. Kebijakan ini dimungkinkan karena APBD Badung yang cukup besar, yang mayoritas dipetik dari sektor pariwisata yang sebelumnya berlimpah. Badung juga membuat kebijakan lain untuk menyejahterakan seluruh rakyat, seperti program bebas pajak bumi dan bangunan (PBB). Ada juga santunan kematian senilai Rp 10 juta, santunan penunggu pasien maksimal Rp 5 juta, jaminan kesehatan Krama Badung Sehat (KBS), dan pembagian dana hibah untuk pelbagai kegiatan masyarakat. Bahkan hanya Badung yang siswa siswa kelas 5 dan 6 SD Negeri dibagikan laptop gratis. Itu semua dapat dilakukan karena PHR lancar mengalir.
Dengan kondisi terkini PHR akan dibendung, niscaya aneka kebijakan tersebut jadi tersendat. Masyarakat Badung jelas dirugikan karena tidak lagi mendapat pemanjaan dari Pemkab Badung. Namun, karena sekarang tahun politik, kerugian yang dialami kepala daerah tidak kalah besarnya. Kita telisik satu per satu.
Pertama, melalui kebijakan populisnya, selama ini Giri Prasta diberi label Bupati bares (royal). Sejak dia memimpin, dana hibah yang disalurkan langsung maupun “difasilitasi” anggota DPRD Badung angkanya sangat menggiurkan. Singkatnya, dalam sejarah Badung modern Giri yang kali pertama seroyal itu, setidaknya terlihat demikian. Label bares itu pula yang acap diamplifikasi para pendukung untuk menyuarakan pentingnya Giri Prasta menjabat dua periode, agar pemanjaan tetap terjaga.
Karena PAD tahun 2020 merosot, jelas akan ada efisiensi pengeluaran. Salah satu yang relatif mudah dipangkas adalah dana hibah dan aneka bantuan sosial lain. Persoalannya, selain pemanjaan lewat program OPD, justru sektor penyaluran hibah ini yang paling menggiurkan untuk dijual secara politis. Belum lagi hibah sampai ke luar kabupaten di Bali dengan nilai fantastis, di luar kewajiban pembagian dana hibah PHR Badung. Konsekuensinya, politisasi diksi Bupati bares yang menjadi modal simbolik Giri Prasta selama ini dapat terjegal.
Kedua, karena sama-sama satu jalur berbendera PDIP, Giri Prasta kecil kemungkinan memilih melawan frontal kebijakan yang digariskan pusat. Meski, dari pilihan kata dalam pernyataan Suiasa yang dikutip di atas, mudah ditafsirkan sesungguhnya Badung sedang melakukan resistensi wacana. Menggambarkan Badung akan seburuk “sudah jatuh ditimpa tangga dan diinjak pula”, secara halus Suiasa mengecam, jika bukan malah memaki, pusat yang tidak peduli dengan penderitaan Badung.
Cerita berpeluang berbeda kalau kemudian Giri Prasta mampu mengguncang kebijakan ini lewat diplomasi dengan Jakarta. Meski peluangnya kecil, tapi jika berhasil dia akan memiliki kemenangan simbolik karena, pertama, mendapat pencitraan positif sebagai politisi yang puputan membela kepentingan rakyat. Sosiolog Burhan Bungin (2018) mengatakan, pemimpin yang lahir dari rakyat harus memiliki pencitraan kuat agar memiliki legitimasi dalam memimpin. Kedua, pendukung mendapat suntikan moral untuk lebih semangat menjual Giri ke masyarakat. Ketiga, label Bupati bares bisa dipertahankan sebagai amunisi politik.
Ketiga, seretnya keuangan Badung ini dapat dengan mudah digunakan lawan politik, entah pendukung paslon parpol lain atau kolom kosong di kotak suara, sebagai mesiu dalam masa kampanye. Jika tidak ada perubahan, pemangkasan PHR berlaku sampai September, dan pemungutan suara dilaksanakan 23 September. Ini berarti selama enam bulan lawan politik dapat merisak petahana dengan label pemimpin yang tak becus mengurus anggaran. Pun dapat digemakan bahwa siapapun akan bares kalau uangnya ada, bukan karena kecerdasan berinovasi atau kemampuan memimpin. Kekecewaan mereka yang dijanjikan hibah tapi berpotensi tidak cair tahun ini, juga gurih dikapitalisasi menjadi kanon politik.
Mengingat signifikansi PAD Badung untuk rakyatnya, memang harus segera ada terobosan politik oleh semua elemen di Badung, terutama kepala daerahnya. Seberat apapun perjuangan diplomasi ke Jakarta, ingatlah tatapan rakyat Badung yang berharap tetap dimanjakan. Jika tidak, niscaya Badung akan murung karena PHR dibendung. Gus Hendra