ALIH-alih lega menjadi nakhoda DPD Partai Golkar Bali, setumpuk beban dan tanggung jawab bercokol di pundak Nyoman Sugawa Korry. Meski pohon Beringin tetap kokoh berdiri, tak bisa dipungkiri sejumlahnya daunnya berguguran dalam setahun terakhir diguncang prahara internal.
Sedikitnya ada tiga tantangan Sugawa selama mengampu Golkar untuk periode 2020-2025. Pertama, menjahit kembali persatuan di tengah tumbuh liarnya faksi di tubuh partai. Kedua, meningkatkan kursi di parlemen seluruh Bali. Ketiga, memastikan kemenangan partai dalam Pilkada Serentak 2020, sekurang-kurangnya merata kebagian kekuasaan di kabupaten/kota.
Untuk tanggung jawab merekatkan tubuh dan jiwa kader, hal pertama yang mesti diselesaikan adalah bagaimana memposisikan lima ketua DPD kabupaten/kota yang dicopot Plt Ketua DPD sebelumnya, I Gde Sumarjaya Linggih alias Demer. Suka tak suka, harus diakui mereka semua memiliki basis massa jelas. Negosiasi untuk duduk di struktur DPD Golkar Bali tampaknya cukup logis. Langkah kompromis ini juga menunjukkan adanya abolisi (pengampunan) politik kepada kader pembangkang di era Demer, sekaligus tawaran serta ajakan membangun (kembali) partai. Jika diterima, karena Sugawa merupakan “Demer’s Men”, rekonsiliasi dengan Demer akan terjalin dengan sendirinya.
Namun, tantangan lain adalah bagaimana memberi pengertian kepada sekutu dalam satu faksi agar sudi menerima kubu seberang bergabung. Jangan sampai langkah rekonsilisasi, yang juga bermakna “melupakan kisah masa lalu”, justru menjadi bibit baru konflik internal jilid 2. Ingat, tak jarang dalam negosiasi konflik itu kesukaran justru lahir dari pendukung yang emosinya masih membara, tinimbang menghadapi lawan yang sudah sedia berdamai.
Memang tidak ada jaminan faksi di luar Demer itu bersedia kembali, tapi itulah tantangan Sugawa memastikan di eranya hanya ada satu kepentingan, yakni membesarkan partai. Bila perlu membuat silaturahmi regional Bali untuk membongkar sekat-sekat penghalang. Secara komunikasi, ada dua manfaat acara temu akbar semacam itu. Pertama, “memaksa” banyak pihak yang sebelumnya enggan bertemu karena beda sikap politik, tetap harus bertemu atas nama partai. Kedua, memberi pesan ke kawan maupun lawan bagaimana upaya keras Sugawa dkk. mempersatukan semua komponen yang terbelah.
Jika piawai mengamplifikasi, pesan itu dapat menggugah semangat kader yang sempat “terlelap” karena jenuh melihat elitenya bersimpang jalan. Hasilnya tidak akan terasa sekarang tentu, tapi baru terlihat di pileg 2024 dengan tolok ukur perolehan suara serta jumlah kursi parlemen yang direbut di seluruh Bali. Sebagai partai dewasa dengan kader militan dan kenyang pengalaman, hal yang dapat membuat Golkar jatuh hanya pertengkaran internal. Terlepas tingginya daya resisten Golkar terhadap konflik, tetap saja jika terlalus sering tidak bagus untuk imaji ke luar. Konflik niscaya menimbulkan luka, yang tak jarang dipakai pihak luar sebagai senjata merobek persatuan internal.
Tantangan ketiga yakni memastikan kemenangan partai dalam Pilkada Serentak 2020, rasanya seperti film “Mission Impossible”. Hasil terbaik yang mungkin diperoleh adalah berbagi kekuasaan di enam kabupaten/kota, kemungkinan terbesar dengan PDIP sebagai partai penguasa di Bali. Namun, karena pilkada memilih figur, jika Golkar mampu memberi tawaran menarik ke konstituen, bisa saja pengalaman Pilkada Badung 2005, di mana koalisi Golkar menumbangkan dominasi PDIP, terulang.
Tanpa menafikan kapabilitas, dalam jangka pendek, sebaik apapun manuver Sugawa rasanya tidak berpengaruh signifikan. Sebab, partai lain lebih dulu jauh melangkah. Paling dekat adalah Pilkada Serentak 2022 di Gianyar, Buleleng, dan Klungkung. Karena itu jangkauan paling logis adalah bagaimana mewujudkan janji Sugawa pada akhir Musda pekan lalu, antara lain, berjuang total di Bali agar Ketua Umum Airlangga Hartarto menjadi Presiden.
Hal lain menarik dilirik adalah posisi Sekretaris yang diemban Made Dauh Wijana terlihat kurang meyakinkan, karena dia tidak lolos ke DPRD Bali. Kondisi ini seperti kurang legitimated, rentan memantik kurang hormat kolega yang diajak di struktur partai yang lolos sebagai legislator. Sebagai solusi, Wijana perlu dicarikan pendamping yang memiliki modal kuat, sekurang-kurangnya modal simbolik atau modal ekonomi.
Di sudut lain, diposisikan menjadi kubu yang “berseberangan”, Wayan Geredeg mengakui rekonsiliasi menjadi kata kunci untuk melihat Golkar di Bali seperti dulu. Argumennya, dalam kepengurusan Demer ada kondisi sedikit tegang yang berujung sampai ke Mahkamah Partai. Dia berharap Sugawa serius menggarap itu secara konsekuen, karena mereka semua adalah kekuatan besar jika pemimpin mampu meraciknya. “Selamat Pak Sugawa, mudah mudahan Golkar sukses. Tentu jangan sampai dipandang sebelah mata,” pesannya. Harapan Geredeg terkait rekonsilisasi itu, jika diterjemahkan bebas, yakni ada langkah memberi ampunan politik untuk bersama-sama berjuang merimbunkan Beringin (lagi). Gus Hendra