“KITA kumpul di sini untuk membuat komitmen bersama mengatasi dampak isu Corona, kita antisipasi dini bersama,” ajak Gubernur Bali, Wayan Koster, di Bank Indonesia perwakilan Bali, Jumat (6/3/2020). Di hadapannya duduk puluhan pelaku pariwisata, pelaku ritel, pimpinan DPRD Bali, dan para kepala daerah di Bali. Dan, kutipan di atas merupakan nukilan pidato pemaparan program aksi Pemprov Bali untuk percepatan pemulihan pariwisata dan perekonomian Bali.
Melihat siapa audiensnya, kita bisa menilai betapa penting topik yang dibahas. Satu hal yang disorot serius adalah bagaimana menyikapi dana Rp 3,3 triliun yang disediakan pusat, sebagai pengganti kebijakan menyetop pungutan PHR di 10 destinasi wisata di Indonesia. Kabupaten Badung yang 80 persen pendapatan daerahnya dari PHR, paling dulu menjerit dan menuding kebijakan pusat itu sebagai “tidak adil”.
Salah satu isi pidato Koster adalah jangan ada kabupaten yang berjalan sendiri-sendiri, dan jangan meremehkan kebijakan pusat. Pesannya adalah sehebat apapun kabupaten itu menyumbang ke nasional, tak menjamin kebagian porsi terbesar subsidi PHR jika tidak disertai perhitungan matang.
Bermodal pengalaman sering membahas APBN saat di DPR RI, Koster berani menarget Bali kebagian Rp 1,9 triliun dengan kajian logis dan sederhana. Dari total 16,1 juta wisatawan mancanegara ke Indonesia tahun 2019, 6,3 juta jiwa berlabuh ke Bali. Pada tahun 2019 Bali menyumbang Rp 75 triliun dari total Rp 270 triliun devisa negara dari pariwisata. Data tersebut membuktikan Bali sangat vital menyumbang pemasukan untuk Indonesia. Karena itu Bali tidak layak sekadar jadi objek, tanpa didukung kebijakan fiskal untuk membangun infrastruktur dan budaya Bali.
Dari pemaparan itu terlihat Koster selangkah lebih maju dibanding kepala daerah lain di Bali. Dia tidak mempersoalkan nilai subsidi pusat yang “kurang memuaskan” itu, melainkan fokus bagaimana Bali memperoleh lebih banyak dibanding daerah lain. Melobi Menteri Dalam Negeri, Menteri Pariwisata, dan Menteri Keuangan adalah strateginya. Di sini dia menunjukkan kelenturan mengkomunikasikan isu strategis Bali, dan itu yang memberinya keuntungan politis.
Pertama, sebagai Gubernur, dia terlihat mampu menahan diri tidak berwacana yang dapat diintepretasikan melawan kebijakan pusat. Apa yang tidak disetujui, diartikulasikan dengan diksi tetap takzim kepada Presiden. Kedua, menunjukkan ke publik bahwa dia memiliki strategi elegan merumuskan solusi atas masalah Bali, dengan tetap mempertimbangkan kondisi nasional. Ketiga, karena dia juga Ketua DPD PDIP Bali, sikap dan gagasannya itu dapat menjadi representasi kualitas kader PDIP ketika diberi amanah sebagai pemimpin.
Sebagai Ketua DPD PDIP, Koster sepertinya sedang mendisiplinkan kader di Bali. Intinya: hati-hati berwacana ke publik terkait kebijakan Presiden Jokowi yang sama-sama “satu jalur”. Kebijakan pengganti dana PHR, bagaimanapun terasa tidak adilnya, tidak bisa semata-mata dipandang dari perspektif lokalitas. Alih-alih dari sudut keadilan komulatif, Koster melihat aspek keadilan distributif dari subsidi itu, dan makanya berani menarget Rp 1,9 triliun. Pembedanya adalah dia melangkah dengan strategi, elegan, berbasis data, dan memakai etika berpolitik.
Melihat kebijakan publiknya selama ini, Koster tergolong bukan tipe “penurut-penurut amat” dengan pusat. Salah satu pengertian kebijakan publik, menurut Harold Laswell (dalam Nugroho, 2003) yakni “suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu”. Sementara menurut Said (2018) kebijakan publik dijalankan ketika sudah melalui sejumlah kajian, dan untuk kemanfaatan seluruh masyarakat.
Indikator dia bukan “penurut-penurut amat” itu bisa dilihat ketika ada kisruh penerimaan siswa baru tahun 2019. Ketimbang mengeluh, dia memutuskan merogoh APBD Pemprov Bali untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Daerah kepada SMA/SMK swasta. Argumennya jelas: orang menghindari sekolah swasta karena ogah bayar SPP. Jadi, jika swasta disubsidi BOS, mereka tidak perlu memungut SPP besar seperti dulu. Meski nilainya tidak semewah dana hibah di Badung, tapi kebijakan BOS daerah lebih tepat sasaran dan bisa dinikmati masyarakat tanpa diskriminasi.
Kemudian, memakai diksi “We Love Bali Movement” yang merupakan bentuk sinergi semua pihak, Koster secara sadar mengakui takkan mampu sendiri mengatasi lesunya ekonomi Bali. Selain tidak punya wilayah, Pemprov juga bukan eksekutor seperti kabupaten/kota yang otonom. Pemprov harus menyesuaikan diri dengan otonomi daerah, yang pusatnya justru di kabupaten/kota. Pemprov hanya sebagai koordinator, fasilitator, regulator, dan mengurangi fungsi operator.
Tetapi, plus secerdas apapun strategi Koster, masyarakat niscaya menanti adanya perbaikan dari kelesuan ekonomi Bali sejak medio Januari 2020 lalu. Jika dalam enam bulan tak terjadi pertumbuhan ekonomi maksimal 5,3 persen sesuai dijanjikan, saat itu pula citra politiknya dipertaruhkan. Pilihannya ada dua: siap strategi cadangan sejak awal, atau menyiapkan alasan pembenar mengapa target tidak tercapai. Namun, satu hal sudah terwujud yakni dia serius memikirkan, merumuskan, dan menargetkan perbaikan ekonomi demi menjaga asa pelaku pariwisata yang sedang lara. Gus Hendra