MALAM pengerupukan, sehari sebelum umat Hindu di Bali merayakan Nyepi, yang galibnya dihiasi pawai ogoh-ogoh, tidak berlaku untuk tahun baru Caka 1942 ini. Pemprov Bali merilis imbauan untuk meniadakan segala bentuk keramaian dan kerumunan. Selain pawai ogoh-ogoh, ritual agama menjelang Nyepi juga sangat dibatasi pesertanya. Semua demi melawan monster tak kasatmata bernama Covid-19 atau virus Corona.
Tanpa mengatakan keadaan genting, Pemprov Bali didukung semua pemerintah kabupaten/kota memperpanjang Nyepi lagi sehari. Yang diutamakan adalah amati lelungan (tidak keluar rumah) kecuali aparat keamanan dan unsur tertentu di bidang pelayanan publik. Pendek kata, karantina lokal. Masyarakat tetap di rumah dengan diawasi polisi, tentara, dan pecalang (petugas keamanan adat). Lalu apa makna di balik Nyepi diperpanjang ini?
Pertama, menahan gelombang masyarakat keluar beramai-ramai merayakan ngembak geni. Seperti diketahui, virus Covid-19 menyebar melalui droplet atau cairan tubuh orang yang terjangkit, yang muncrat ketika bersin atau batuk. Makanya pemerintah menyerukan distansi sosial (jarak sosial) minimal 1 meter, karena jangkauan droplet rerata di bawah 1 meter. Sayang, imbauan ini dianggap angin lalu, karena sanksinya tidak ada. Berbeda dengan Jerman misalnya, yang menerapkan denda 25.000 Euro (Rp 444 juta) atau Singapura dengan denda 10.000 dolar Singapura (Rp 113 juta) atau enam bulan penjara. Jadi, bisa dibayangkan potensi penularan virus ketika puluhan ribuan orang berkerumun di pantai atau tempat umum lain untuk merayakan “kebebasan” usai sehari menjalankan Catur Brata Penyepian.
Kedua, kebijakan ini juga sebagai jawaban atas maraknya sliweran meme dan narasi yang melecehkan imbauan pemerintah dalam meminimalisir peserta ritual. Orang-orang bengkung (bebal) ini dijuluki Covidiot, plesetan dari idiot covid. Mereka malah menghadap-hadapkan imbauan pemerintah dengan tradisi dan agama Hindu. Paparan data dari Satgas Penanggulangan Covid-19 melalui media arus utama dan media sosial, seakan belum menggentarkan kaum Covidiot. Ketika imbauan ini dijalankan menggunakan tangan aparat keamanan, barulah pesan kegentingan itu bisa ditangkap tanpa terlalu menimbulkan kepanikan.
Hanya, memakai surat imbauan juga bisa dimaknai pemerintah main aman dan ingin terlihat benar, atau malah bersikap mendua. Di satu sisi suratnya hanya “imbauan”, tapi isinya perintah terang kepada masyarakat, semacam dekrit. Namun, karena “imbauan” itu bergantung keikhlasan yang diimbau, secara praktik pemerintah menggandeng polisi dan tentara untuk memastikan imbauan dijalankan.
Kemungkinan jalan ini ditempuh, karena pemerintah tidak cukup memiliki kemampuan dan infrastruktur untuk menjalankan kebijakan lockdown seperti dilaksanakan di Singapura misalnya, yang terbukti berhasil menekan angka kasus Covid-19. Jadi, jika “imbauan” itu ditaati akan dinilai bagus. Namun, jika tidak tertib dijalankan, pemerintah tidak juga tidak apa-apa karena memang belum punya infrastruktur mapan untuk mengeksekusi kebijakan lockdown lokal.
Ketiga, pemerintah belum menemukan bahasa yang mudah dicerna masyarakat untuk menyadarkan bagaimana tingginya tingkat bahaya virus Corona itu. Dalam sastra dikenal konsep heteroglossia yakni keragaman sudut pandang dan suara, yang dikenalkan oleh Mikhail Bakhtin. Selama ini dominan narasi pemerintah saja yang muncul, sedangkan narasi dari elemen lain kurang sigap membantu. Padahal memberi penjelasan kepada anak milenial tentu beda dengan golongan pegawai negeri. Menjelaskan kepada pemangku pura tentu tidak elok disamakan dengan ceramah kepada mahasiswa. Bahasa bendesa adat pasti sulit ditangkap pengendara Gojek, dan lain sebagainya.
Berbagai bahasa itu perlu digaungkan, karena audiensnya berbeda dan memiliki selera sendiri dalam memahami serta mematuhi imbauan. Ada satu video di mana polisi ditemani tentara ceramah bahaya Covid di kalangan bebotoh tajen (sabung ayam) untuk membubarkan mereka. Para bebotoh itu memang bubar, tapi bukan karena takut ancaman virus Corona melainkan takut ditangkap polisi karena matajen. Coba tanya pedagang di pasar, ngerti tidak istilah social distancing? Dijamin jawabnya tidak. Coba diganti istilah “sampunang paek-paek nggih, nyanan ketularan corona, bisa mati nyanan”, mungkin mereka langsung paham.
Terlepas segala kekurangan kebijakan pemerintah, dalam situasi genting seperti ini yang utama diperlukan adalah kepatuhan masyarakat. Tanpa itu semua kerja keras pemerintah niscaya sia-sia. Termasuk patuh diam di rumah saat ngembak geni, Kamis (26/3/2020). Sebab, memperpanjang Nyepi sehari itu adalah upaya pemerintah memanfaatkan momentum untuk memperingatkan warganya tanpa melahirkan kepanikan. Semoga kartu ucapan Tusuaria berisi gambar sekeluarga mengucapkan hari Nyepi dengan wajah ditutupi masker serta membawa baki berisi hand sanitizer, tidak lama terjadi. Mari, bersama taati itu, agar menyepi Bali dapat menambah energi kita semua melawan Corona. Gus Hendra