DARI banyak topik obrolan dengan sejumlah rekan penyelenggara pemilu di KPU maupun Bawaslu, satu topik selalu muncul yakni kegalauan minimnya generasi Y (gen Y atau milenial), lebih-lebih generasi Z (gen internet), untuk melirik politik. Jangankan tertarik jadi penyelenggara, membincang tema politik saja generasi milenial “versi akhir” dan generasi Z ogah-ogahan. Stigma politik itu identik kotor dan licik jadi pemantik, di sisi lain kekhawatiran KPU akan rendahnya tingkat partisipasi pemilih menjadi soalnya.
Klasifikasi generasi X, Y, dan Z oleh para ahli tidak selalu identik, tapi ada hal beririsan. Gen Y adalah yang lahir tahun 1981-1994 (sekarang usia 25-38 tahun), sedangkan gen Z lahir tahun 1995-2010 (sekarang usia 9-24 tahun). Gen Y mudah menerima ide baru, cenderung menganggap pengalaman lebih penting, dan ekspresif. Gen Z sangat mudah menerima ide baru, biasa multitasking, mau yang instan, kurang menghargai proses, cenderung egois, dan ingin jadi pusat perhatian. Persamaan dua generasi ini adalah sama-sama pengguna aktif media sosial. Namun, gen Z kurang komunikasi tatap muka dan cenderung melakukan semua hal di dunia virtual.
Benarkah gen Y dan Z cenderung apolitis?
Data di KPU Denpasar, tercatat 55% anggota PPK untuk Pilkada Serentak 2020 dihuni gen milenial. Malah yang termuda baru berusia 20 tahun (masuk gen Z). PPK di Badung ada lebih muda lagi yakni berusia 19 tahun. Memang temuan dua orang ini terlalu kecil untuk mematahkan asumsi soal apolitis tadi. Tetapi jika menggunakan teori falsifikasi Karl Raimund Popper, bukti kecil tetaplah bukti untuk mematahkan asumsi atau teori awal.
Di sudut lain, salah satu parameter kesuksesan KPU adalah tingginya partisipasi pemilih, itulah kenapa mereka dibekali dana sosialisasi pemilu. Makin tinggi partisipasinya, termasuk gen Y milenial dan gen Z di dalamnya, makin bagus kualitas komisionernya. Begitu juga sebaliknya. Tingginya harapan itu berkelindan dengan segala upaya KPU merangsang anak muda menyalurkan hak politik, dan lebih bagus lagi sudi menjadi penyelenggara pemilu.
Membincang media sosial, hasil penelitian Graham Nichols Dixon menggunakan Facebook pada tahun 2008 (dalam Rusli Nasrulah, 2014) menunjukkan kemunculan era siber mempengaruhi bagaimana seseorang mengonstruksi diri di dunia maya. Identitas tidak sekadar bagian dari atribut seseorang, dan itu secara simultan dikontruksi. Jika mampu memahami itu, tidak berlebihan jika menilai proses sosialisasi paling mengena adalah melalui gawai yang kini ada dalam genggaman setiap generasi.
Menurut pandangan Direktur Riset Cirus Surveyors Group, Dr. Kadek Dwita Apriani, meski tidak sepenuhnya benar, kekhawatiran pemilih milenial cenderung kurang tertarik menggunakan hak politik itu justru tantangan bagi KPU. Di era internet ini, kata dia, konten dalam sosialisasi itu penting, tapi bagaimana mendistribusikan pesan itu juga tak kalah penting. “Sosialisasi sebaiknya berdurasi pendek, bentuk audio visual, dan kontennya ringan. Kalimatnya mudah dicerna, gembira, tidak kaku, menarik, dan memiliki cool faktor,” ujarnya dalam diskusi terbatas KPU Bali di Sanur, pekan lalu.
Dia menukil data BPS menjelang Pemilu Serentak 2019 lalu, di mana 34% pemilih di Indonesia adalah generasi milenial, yakni mereka yang berusia antara 17-34 tahun. Dalam perspektif politik, jelasnya, salah satu ciri khas mereka adalah tidak memiliki loyalitas tinggi terhadap institusi, termasuk partai, dan tidak mudah tunduk atau patuh terhadap garis instruksi. “Ini hanya soal cara siapa yang adaptasi dengan siapa, karena ada jurang antargenerasi,” tambahnya.
Data hasil riset, sambungnya, 83% generasi milenial tidur dengan gawai di sebelah mereka. Indonesia juga merupakan negara pengguna media sosial Instagram terbesar, mencapai 83%. Durasi konten di media sosial yang dinikmati generasi milenial, sambungnya, antara 1 menit dan 4 menit dan khusus untuk Youtube rerata 8 menit.
Dwita juga memaparkan hasil survei di Denpasar bahwa rentang usia 26-30 tahun paling tinggi memakai internet di angka 94,6 persen. Ini berarti diasumsikan dari 100 warga Denpasar dari kelompok itu, 94 orang memakai intenet. Untuk gen Z justru agak rendah yakni di angka 91,2 persen. Yang paling rendah adalah mereka di atas usia 66 tahun dengan hanya 31,3 persen. Untuk penggunaan internet, yang terbanyak memakai ponsel pintar (smartphone) sebanyak 92,8 persen, lainnya 6,8 persen, dan laptop 0,5 persen. Durasi beraktovitas memakai internet selama 3-4 jam dilakukan sebanyak 22,4 persen.
Sajian data ini, jelasnya, bisa menjadi rujukan bagi penyelenggara pemilu jika ingin sosialisasi ke segmentasi pemilih milenial. Perlu kemasan menarik dan sesuai selera mereka, misalnya memakai ilustrasi peristiwa sehari-hari untuk membumikan politik di mata kaum milenial. Gaya aplikasi Tiktok yang lagi booming dan mudah dicerna bisa dipakai acuan. “Jika ingin sosialisasi lewat video usahakan maksimal durasinya satu menit. Lebih dari itu mereka bosan, karena memang ingin yang instan,” urai doktor jebolan Universitas Indonesia ini. Gus Hendra