MANGUPURA – Ketiadaan calon perseorangan dalam Pilkada Serentak 2020 di Bali, otomatis membuat kontestasi calon kepala daerah otomatis hanya diisi kandidat yang diusung partai politik. Namun, saat ini calon penantang petahana juga belum terlalu jelas. Kondisi ini menghasilkan asumsi petahana versus kotak kosong, khususnya untuk Pilkada Badung. “Kontestasi melawan kotak kosong itu merupakan bentuk kemunduran demokrasi dan dan lenyapnya kaderisasi partai,” seru pengamat politik asal Kutuh, Made Wena, Selasa (3/3/2020).
Dalam pandangan Wena, kotak kosong merupakan salah satu jalan alternatif atas gagalnya kesepakatan antara partai politik yang memerlukan koalisi untuk bisa mengusung calon. Jika koalisi ini tidak bisa terjalin dengan baik, bisa jadi akan melahirkan paslon tunggal. Hal ini berarti ketiadaan pilihan lain bagi masyarakat, sehingga orang bisa ada pilihan untuk tidak memilih calon yang ditawarkan. “Itu sama artinya demokrasi tidak berjalan dengan baik, karena kaderisasi lenyap,” terangnya.
Berkaca dari jumlah kursi saat pemilu 2019 di Bali, salah satu partai politik bisa mengajukan paslon. Sementara partai yang lain harus berkoalisi agar bisa mengajukan calon. Agar tidak sampai terjadi paslon tunggal, dia mendorong partai lain agar bisa berkoalisi. Koalisi yang dibangun bukan untuk memenangkan kotak kosong, melainkan mendorong kader terbaik untuk maju bertarung. “Membiarkan calon (petahana) melawan kotak kosong itu artinya kemunduran demokrasi. Setiap parpol harus berani mengajukan kader terbaik untuk maju sebagai calon,” pesannya.
Selain itu, dia juga berharap jangan sampai ada upaya membuat calon boneka demi menghindari kotak kosong. Bila itu sampai terjadi, tetap saja yang ada adalah paslon tunggal. Calon boneka, lugasnya, juga indikator kemunduran demokrasi. “Calon boneka itu identik merupakan orang yang dipersiapkan maju demi memuluskan salah satu calon,” urainya memungkasi. gay