BERITA viral dalam minggu ini di media sosial, salah satunya adalah pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDI-P) Ibu Megawati Soekarno Putri, disampaikan kepada kadernya di Kantor DPP PDI-P Jakarta.
Ia mengatakan, menghadapi tahun 2024 mereka yang akan maju sebagai pemimpin nasional dan daerah, adalah anak-anak muda, kaum milineal. Mereka yang sekarang sudah tua akan turun panggung, digantikan anak-anak muda. Itu harus dimaklumi.
Dalam pidato itu ia berharap kepada tokoh-tokoh tua PDI-P, jangan memaksa anak-anak, istri atau keponakan untuk menggantikan. Sebab belakangan banyak yang minta — supaya anak, istri atau keponakan dijadikan calon, padahal anaknya tidak memiliki bakat seperti orangtua mereka.
“Jangan dipaksa-paksakanlah”, kata Megawati saat itu.
Apakah pernyataan tersebut menyindir diri sendiri, atau orang lain? Mega pun menjawab. “Soal Puan Maharani, yang kini menjadi Ketua DPR-RI, katanya saya yang jadikan. Mana mungkin?. Ia sudah sejak lama bergulat di dunia politik,” kata Megawati mengelak.
Bagi saya, apa yang dikatakan Mega, memang banyak benarnya. Khususnya di dunia politik, banyak orangtua yang berkiprah dalam kekuasaan politik, selalu memperjuangkan keluarga sendiri meneruskan karir politiknya, padahal anak dan keluarganya tidak memiliki kemampuan di bidang itu. Anak, menantu, ponakan dan istri seperti “dipaksa-paksa”, supaya meneruskan kekuasaan yang diperoleh sebelumnya dari rakyat. Kalau mampu sih boleh-boleh saja. Tetapi banyak dipaksa-paksakan, dengan menggunakan istilah aji-mumpung.
Kader-kader partai yang berjuang dari bawah, berdarah-darah dalam kondisi pahit – sering terlempar, terpinggirkan begitu saja. Karirnya putus di perjalanan, karena keangkuhan pemimpinnya demi anak, istri keponakan dan menantu.
Kondisi seperti ini, sangat kurang mendidik. Di samping kurang memperkokoh soliditas dalam kepemimpinan sebuah kelompok partai politik, hal ini juga akan memberikan kondisi rapuh dalam kepemimpinan bangsa dan negara.
Pemimpin partai atau pemimpin bangsa dan wilayah bukan didasarkan kepada kemampuan manejerial yang hakiki serta mendasar (dari bawah), tetapi sering dikaitkan dengan “nasib dan keuntungan”, akibat kekuatan orang lain (orangtua sendiri).
Dunia bisnis mencatat, banyak keberhasilan orangtua belum tentu dapat diteruskan oleh generasi kedua apalagi generasi ketiga. Banyak bisnis raksasa dibangun orangtua, dihabiskan generasi kedua dan dihancurkan generasi ketiganya.
Saya pikir, dunia politik juga sama, apalagi politik penuh intrik, fitnah dan kebohongan. Generasi milineal yang sejak tahun 90-an dilanda kehidupan baru melalui hanphone (HP), banyak yang acuh dengan apa yang ditekuni orangtua, sehingga pendidikan global yang didapatkan dari media sosial, berbeda dengan hakikat kehidupan nyata.
Orangtua yang banting tulang berusaha demi anak-cucu, ikut berpartai politik (untuk kekuasaan), tidak dirasakan, apalagi dapat diikuti anak-anak, cucu dan keponakan. Lalu, kalau tiba-tiba mereka dipaksakan menggantikan kedudukan di politik atau dipaksa menjadi anggota DPRD, bupati, gubernur, walikota, bagaimana?
Oke, pasti ada yang bisa. Namun tidak sedikit juga yang amburadul, mau mulai darimana, karena tidak memahami apa itu pekerjaan politik. Hasilnya banyak anggota DPR/DPRD hanya 5D (datang, daftar, duduk, dengar, duit….)
Saya sepakat dengan imbauan Ibu Megawati Soekarno Putri, jangan paksa-paksa anak, istri atau keponakan, apalagi nggak bisa ngapa-ngapain.
“Bagaimana pun kader yang lain, juga anak anak kalian lho,” kata Megawati.
Kalau ada yang tidak merasa tersindir, memang dasarnya begok aja….(*)