Corona dan Keuntungan Ulur Waktu Penantang Petahana di Pilkada

Gus Hendra
Gus Hendra

MUSIBAH pandemi Covid-19 alias Corona memang merontokkan banyak sendi kehidupan kita, tapi juga memberi harapan baru dalam kontestasi pilkada. Mengapa? Karena Corona memaksa KPU RI dan pemerintah menunda Pilkada Serentak 2020, meski opsinya belum diputuskan lewat Perppu. Dan, keadaan itu memberi napas tambahan siapa saja yang hendak menantang atau mencari penantang petahana.

Sejauh ini ada tiga opsi penundaan pilkada dari 23 Spetember 2020 menjadi 9 Desember 2020, 17 Maret 2021, atau 29 September 2021. Memakai prediksi pemulihan kondisi ekonomi nasional usai puncak tsunami Corona paling cepat pada akhir 2020, kecil peluang pilkada bisa digelar pada Desember 2020. Konsekuensinya adalah kontestasi politik bisa jalan pada 2021, paling dekat bulan Maret. Ini juga tidak terlalu jauh dari akhir masa jabatan (AMJ) semua kepala daerah di Bali pada Februari 2021. Opsi ini kabarnya ditentang sebagian partai yang kadernya banyak menjabat kepala daerah.

Bacaan Lainnya

Masalahnya, jika benar pilkada Maret atau malah September 2021, petahana nyaris tidak ada keunggulan politis dibanding penantang karena mereka berstatus “orang biasa”. Tidak bisa lagi dicitrakan “murah hati” seperti dengan bagi-bagi dana hibah ke masyarakat. Di Badung misalnya, konon ada pura dadia yang telanjur dibongkar tapi dana hibah yang dijanjikan tak jua cair sampai sekarang. Menurut Burhan Bungin (2018), berbeda dengan pemimpin karena kharisma, pemimpin hasil pemilu harus memiliki pencitraan kuat agar mendapat legitimasi masyarakat dalam memimpin.

Baca juga :  Golkar Bali Kian Pede Usung Airlangga, Optimis Dua Tahun Elektabilitas Meningkat

Selama ini khalayak berasumsi sulit melawan petahana karena dia bisa menggunakan APBD untuk menjaga popularitas dan elektabilitas. Dalam kondisi normal adagium itu memang berlaku. Tetapi, sekarang keadaan tidak normal, petahana rentan turun takhta karena amunisinya tersendat. Siapapun yang dulu patah arang melawan penantang dengan alasan logistik, kini mereka bagai dibukakan pintu dari langit untuk injeksi moral.

Di sini konteksnya bukan berarti petahana harus terjungkal, melainkan membuka lebar pintu bagi masyarakat menyaksikan kontestasi lebih jujur dan adil. Terutama di daerah yang kemungkinan ada paslon tunggal. Partai nonpenguasa juga dituntut benar-benar transparan dalam kandidasi agar lahir pasangan calon sesuai aspirasi masyarakat, bukan karena sebab lain. Semua bermuara ke sudut yang paling diuntungkan adalah masyarakat, karena mendapat alternatif pilihan lebih baik ketimbang pilkada hanya menyajikan paslon tunggal versus kotak kosong.

Dengan adanya penundaan pilkada, eksplorasi isu strategis dan tantangan yang dihadapi daerah serta solusinya juga kian banyak tersedia untuk dicerna khalayak. Segala kelemahan dan kekurangan petahana silakan digoreng, sebagaimana petahana juga dapat kesempatan membuktikan kualitasnya dengan kebijakan yang membumi agar dapat segera keluar dari sulit ekonomi. Wabah Covid-19 ini turut memberi pesan kepada siapa saja yang kelak berkuasa, untuk menyediakan cukup sumber daya sebagai persiapan menghadapi kondisi seperti sekarang pada masa depan. Jangan bergantung pariwisata melulu yang membuat rakyat dan penguasa terlena, dan kelabakan begitu Corona tiba.

Baca juga :  Ditemani Istri dan Anak, Kakarsana Nyoblos di TPS 11 Banjar Tusan Blahbatuh

Gagap antisipasi, itu mungkin istilah yang cukup mendekati. Hal itu lantaran pemerintah tidak cukup sigap membaca dan menyiapkan jalan keluar dari perubahan. Di satu sisi ada pemerintah daerah kelimpungan menutupi defisit neraca berjalan, malah sampai berutang ke rekanan. Di sisi lain, pemerintah tidak berani terbuka menyatakan kebijakan populis tidak bisa lanjut lagi karena anggaran tak mencukupi.    Hal lain yang bisa dipetik dari kontestasi di tengah pandemi Corona ini yakni masyarakat mesti bernas dan bijak mencerna program kandidat kelak. Tapi, semasih masyarakat bersikap pragmatis materialistis, niscaya tidak ada pelajaran berharga yang didapat. Kita hanya berputar dari satu politik transaksional ke transaksional yang lain. Yang pasti Corona secara “tak sengaja” mengulur waktu penantang mencari kelemahan penguasa, atau mencarikan lawan sepadan untuk petahana. Soal apakah ini membuat tambah bagus atau lebih buruk pilkada, kita lihat nanti bersama. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.