Contingency Fund bagi Bali

Gregorius Rusmanda
Gregorius Rusmanda

Oleh : Gregorius Rusmanda

SKEMA pemulihan (recovery) pariwisata yang diluncurkan Pemerintah Pusat tak memuaskan semua pihak. Tak aneh kalau Pemkab Badung melalui Wakil Bupati Ketut Suiasa menganggap salah satu skema recovery pariwisata yakni tidak dipungutnya Pajak Hotel dan Restoran (PHR) enam bulan ke depan sebagai nestapa bagi Badung. Meski mengaku tidak dalam posisi menolak, Wabup Suiasa mendesak pemerintah pusat agar mengkaji ulang kebijakan tersebut. Suiasa beralasan, kemampuan kebijakan fiskal di daerah akan sangat rendah akibat kebijakan tersebut. Dampaknya, bisa menggangu pelayanan kepada masyarakat Badung.

Bacaan Lainnya

Ini hanyalah salah satu contoh Pemerintah Pusat gamang dalam membuat kebijakan menghadapi kejadian tak terduga yang bersifat kebencanaan.  Force majeure, begitu klausul dalam khasana akuntansi dan keuangan. Bukan kali ini saja Pemerintah kelabakan menghadapi situasi darurat. Saat peristiwa Bom Bali 1 tahun 2002 dan Bom Bali 2 tahun 2005 kondisinya juga hampir sama. Skema kebijakan pemulihan tampak indah saat dirumuskan di rapat-rapat setingkat kabinet, namun melempen di tingkat pelaksaan. Penyebab utamanya dana alias fulus tidak lancar.

Pemerintah tidak salah karena memang pencairan keuangan negara atau daerah memang selalu didesain untuk kondisi yang normal (us usual) dan penggunaanya berasas kehati-hatian (prudent). Pemanfaatan keuangan menurut RAPBN dan RAPBD juga berbasis kinerja. Di sini tidak ada tempat bagi kegiatan yang hanya bersifat antisipatif dan prediktif, karena rawan penyelewengan. Kalaupun dianggarkan jumlahnya relatif kecil karena bencana dalam bentuk apapun tidak bisa diprediksi. 

Baca juga :  Grab Cegah Pengemudi Berkerumun dengan Teknologi Geofencing

Terkait hal ini, sudah saatnya Bali memiliki kemandirian dalam penanganan bencana atau peristiwa yang unpredictable. Okelah bantuan pemerintah pusat tetap diperlukan, tetapi tak menjadi adalan utama. Bali harus memiliki skema tersendiri untuk memulihkan pariwisata bila terjadi sesuatu yang di luar rencana. Bukankah pariwisata merupakan leading sector? Sudah saatnya Bali belajar dari tragedi bom Bali 1, bom Bali 2, wabah MERS, SARS, erupsi Gunung Agung dan terakhir wabah virus Corona. Salah satu solusinya yakni menyiapkan contingency fund.

Contingency fund merupakan peristilahan yang popular di dunia asuransi, untuk menyebutkan dana tak terduga. Sesuai namanya dana ini dimanfaatkan saat darurat yang terjadi diluar prediksi dan rencana anggaran. Bila diaktualisasi dalam dunia pariwisata setidaknya dana tak terduga ini memiliki empat manfaat utama. Pertama, persiapan terhadap hal tak terduga. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan dating yang menguncang dunia pariwisata. Seperti dipaparkan di atas, mulai dari tragedi bom Bali 1, bom Bali 2, wabah MERS, SARS, erupsi Gunung Agung dan terakhir wabah virus Corona.

Kedua, dengan memiliki dana cadangan atau contingency fund, jika sesuatu hal yang buruk terjadi seperti contoh di atas, maka Bali sudah punya dana untuk mengatasinya. Ketiga,  mengantisipasikerugian. Dengan tersedianya dana darurat, Pemprov Bali bisa membantu pelaku usaha, terutama industri pariwisata untuk mengantisipasi kerugian ketika mengalami kejadian seperti diuraikan di atas (tragedi bom Bali 1, bom Bali 2, wabah MERS, SARS, erupsi Gunung Agung dan terakhir wabah virus Corona). Antara lain membantu dengan skema hibah tepat sasaran atau pinjaman dengan bunga lunak.

Baca juga :  Dinsos Denpasar Jemput Bola Serahkan Bantuan Sembako bagi Masyarakat Kurang Mampu

Keempat, menghindari keresahan sosial. Dampak dari suatu peristiwa yang pemberitaannya begitu masif, seperti wabah virus corona bisa menimbulkan kepanikan sosial. Hal ini sangat berbahaya bagi suatu destinasi wisata seperti Bali yang menempatkan safety and security serta kenyamanan sebagai prioritas utama. Keresahan sosial ditandai kepanikan dalam masyarakat, yang merasa tidak terjamin keamanan dan keselamatannya menghadapi suatu peristiwa, semisal virus corona. Kalau terjangkit, seperti apa penanganannya, bagaimana prosentasi kesembuhan, bagaimana prosedur pemulihan dan sebagainya.

Untuk memastikan semua ini under control, Pemerintah tentu harus memiliki dana khusus yang bersifat darurat, misalnya untuk menyediakan RS khusus, tenaga medis terlatih dan pola evakuasi pasien yang bersifar real time. Termasuk juga pemasangan alat pemindai suhu tubuh (thermal scanner) di Bandara dan pintu masuk lainnya seperti pelabuhan laut. Bagaimana pola penangannya bila ditemukan ada penumpang berstatus sucpect. Tentu dibutuhkan tindakan yang bersifat cepat dan mendesak. Untuk menyediakan semua ini dalam waktu singkat tentu membutuhkan biaya, yang pencairannya tidak birokratis. Namanya juga darurat.

Menyimak keempat aspek penting di atas, sekali lagi, sudah saatnya Bali mulai memikirkan untuk menggali sumber-sumber alternatif guna memenuhi contingency fund. Entah itu melalui penyisihan Pajak Hotel dan Restoran (PHR) setiap tahun, atau memungut kontribusi/donasi dari wisatawan—dengan catatan tidak melanggar peraturan yang ada. Pengelolaannya bisa melibatkan lintas lembaga termasuk unsur-unsur asosisi pariwisata sepeti Bali Tourism Board (BTB) dan kalangan kampus. Lebih baik lagi kalau ada supervisi dari pihak kejaksaan dan aparat kepolisian, guna memastikan pemanfaatan dana ini tepat sasaran. Serta meminimalisir adanya penyimpangan. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.