Dalam palagan Bharatayuda, Bisma memilih menderita dengan tubuh terbaring ditembus ratusan panah Srikandi dan Arjuna. Ia menjalani karma buruk itu bukan demi kemenangan Hastinapura, melainkan demi komitmen. Dan, ironisnya, komitmen itu adalah setia kepada Duryudana, raja kurang bijaksana, yang juga cucu sang putra Dewi Gangga tersebut.
GELIAT politik Indonesia teranyar punya “kejutan kecil” dengan kesediaan Presiden Prabowo Subianto untuk membayar utang kereta cepat Whoosh senilai Rp1,2 triliun per tahun. Kenapa bukan “kejutan besar”? Karena langkah politis Prabowo itu bisa diprediksi sebagai worst scenario dalam penyelesaian polemik pembayaran utang kereta Whoosh. Ketika Menteri Keuangan Purbaya sempat menolak keras membayar dengan APBN, Prabowo justru tegas berujar: “Duitnya ada. Saya tanggung jawab” (tempo.co, 4/11/2025).
“Indonesia bukan negara sembarangan, kita hitung enggak masalah itu,” serunya seraya menjamin dana akan dicomot dari efisiensi anggaran dan, lucunya, uang hasil sitaan koruptor. “Duit yang tadinya dikorupsi (setelah diambil negara), saya hemat. Jadi, Saudara, saya minta bantu saya semua. Jangan kasih kesempatan koruptor-koruptor itu merajalela. Uang nanti banyak untuk kita, untuk rakyat semua,” lanjutnya (detik.com, 4/11/2025).
Walau terkesan bombastis, mesti diakui manuver politik Prabowo itu terbilang cantik walau menggelikan. Cantik karena mempertontonkan citra sebagai pemimpin berani pasang badan, tapi pada saat yang sama juga berani mempertaruhkan kondisi fiskal negara. Ketika banyak gubernur dan bupati atau wali kota mengeluhkan dipangkasnya anggaran transfer pusat ke daerah, keputusan Prabowo ini justru berpunggungan dengan aspirasi mereka.
Tidak sekadar alat transportasi, kereta Whoosh juga dapat dimaknai sebagai simbol tentang kecepatan, efisiensi waktu dan, terutama, ambisi besar politik pemimpin bernama Jokowi. Proyek ini muncul dari ide Jokowi, disemai dengan utang ke China, dan kini “diwariskan” ke Prabowo. Proyek ini awalnya ditaksir menelan biaya US$ 6,02 miliar, lalu membengkak menjadi US$ 7,22 miliar. Dari total biaya itu, sekitar 75% dibiayai melalui pinjaman dari China Development Bank (senilai US$ 5,415 miliar). Dengan bunga tahunan utang pokok 2% dan bunga untuk kenaikan biaya 3,4% per tahun, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) harus membayar US$ 120,9 juta per tahun untuk bunganya.
Pertanyaannya, mengapa Prabowo, meski Purbaya menyatakan utang itu seharusnya dibayar Danantara, rela menanggung utang yang bukan dia buat? Sebelum menjawab itu, satu hal yang terlihat: Prabowo kemungkinan besar sudah memvisualisasikan konsekuensi sikap politiknya jauh ke depan, sekurang-kurangnya sampai Pilpres 2029 tiba.
Secara politik, sekurangnya-kurangnya ada tiga alasan Prabowo demikian. Pertama, politik balas budi. Berkaca dari bantuan Jokowi saat Pilpres 2024, dan melihat kengototan berseberangan dengan analisis Purbaya, nampaknya Prabowo percaya diri dengan keputusannya. Sikap ini ada kemiripan dengan Jokowi. Jika Jokowi tetap mendatangkan Whoosh meski ditentang Menteri Perhubungan (waktu itu) Ignasius Jonan, Prabowo mengabaikan penolakan Purbaya untuk membayar utang Whoosh.
Karena balas budi, Prabowo seperti merasa “utang politik” Jokowi itu berarti utang dia juga untuk dibayar. Persoalan bergeser dari utang negara ke utang “rasa” personal. Boleh jadi itu solusi nyata, tapi itu juga rekahan untuk dibidik. Tinggal sekarang seberapa kencang kritikan diguncangkan, dan seberapa tangguh Prabowo mempertahankan.
Kedua, disengaja atau tidak, Prabowo sedang mencitrakan dirinya sebagai politisi yang setia pada komitmen. Apakah publik sepakat dengan komitmen politik bergaya demikian, itu soal lain. Namun, ada pernyataan menarik digarisbawahi di sini, yakni utang akan dibayar dana dari hasil pemberantasan korupsi. Secara semiosis, Prabowo ingin mengurangi tekanan publik bahwa dia menambah beban baru APBN, sekaligus anggaran daerah. Antara pernyataan “duitnya ada” dan “duit yang tadinya dikorupsi (setelah diambil negara), saya hemat” itu sesungguhnya tidak berkorelasi langsung. Meski demikian, karena diucapkan orang yang sama dalam satu konteks peristiwa, dia membentuk asosiasi bahwa “uang untuk bayar utang adalah uang koruptor, bukan dari pembayar pajak, jadi tenang saja”.
Prabowo jelas tidak sedang melucu, tapi wacananya soal uang koruptor itu rasanya cukup memancing tawa. Seolah negara ini punya mesin ATM sitaan kasus korupsi, tinggal masukkan kartu, transfer, lalu utang lunas. Ini mirip kisah bagaimana Yudhistira ketika ditanya Drona apakah Aswatama, anak Drona, benar sudah mati di medan perang? Yudhistira menjawab, “Iya paman, tapi Aswatama gajah.” Frasa pertama diucapkan lantang, frasa kedua diucapkan lirih, sehingga tidak terdengar oleh Drona.
Ketiga, meski akan dinilai inkonsisten soal kehati-hatian fiskal dalam mantra “efisiensi” oleh para kepala daerah, Prabowo mungkin lebih memprioritaskan stabilitas politik dan kepercayaan investor asing. Masuk akal juga sih, karena China memang sedang mesra-mesranya di bidang ekonomi dengan Indonesia sejak era Jokowi sampai kini. Jika ada gejolak dalam pembayaran utang Whoosh, rentan bergeser menjadi turbulensi politik berisiko tinggi.
Dengan mempertaruhkan reputasi saat ini demi penyelesaian proyek prestise warisan Jokowi, Prabowo secara strategis dapat lebih kuat mencengkeram dukungan basis relawan Jokowi. Sebab, Prabowo tidak sekadar membuat simulakrum “sigap membayar utang negara”, juga membayar utang komitmen pada Jokowi.
Satu lagi, bila utang Whoosh macet di era Prabowo, lawan politik tak segan menggunakannya sebagai amunisi untuk mengkritik ketidakmampuan kabinet saat ini. Dengan mengambil alih penyelesaian utang, Prabowo bagai memercikkan air ke bara api.
Lalu bagaimana dengan potensi perlawanan para kepala daerah? Ahh… rasanya sih hanya dilirik sekilas sambil dibaca sebagai “kerugian yang dapat dikontrol demi keuntungan lebih besar”. Walau berbeda era, di antara Bisma yang hanya bisa berdoa di Kurusetra dan Prabowo dari Kertanegara— kediaman yang menjadi medan siasat dan simbol kuasanya — terdapat satu kesamaan identitas: rela menderita demi membayar komitmen.. Gus Hendra
























