MENINGKATNYA perang sindiran antara tiga poros calon presiden, yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan bak alarm kian dekatnya waktu pendaftaran pasangan calon presiden-wakil presiden. Ejekan kepada lawan, dibungkus kalimat bijak untuk tidak menebar kebencian, menyesakkan ruang media massa. Dari seabrek opini saling mendegradasi itu, terselip data yang anomali: elektabilitas Ganjar mentereng terdepan, tapi barisan partai koalisi tertatih-tatih di belakang.
Menimbang Demokrat bergabung dengan Prabowo, Koalisi Indonesia Maju kini mengantongi total 261 kursi di parlemen. Terdiri dari Gerindra sebanyak 78 kursi, Golkar (85), PAN (44) dan Demokrat (54). Di peringkat kedua ada koalisi pendukung Anies-Muhaimin Iskandar (Amin) dengan total 167 kursi, terdiri dari Nasdem (59), PKB (58), dan PKS (50). Di posisi paling buncit adalah partai koalisi pendukung ganjar dengan hanya 147 kursi terdiri, terdiri dari PDIP sebanyak 128 kursi
dan PPP 19 kursi.
Namun, jumlah kursi parlemen lahir dari sistem proporsional terbuka dalam Pemilu Legislatif. Artinya, “harga” satu kursi tiap daerah pemilihan berbeda-beda. Ini berbeda dengan Pilpres dengan sistem one man one vote. Karena itu pula, dukungan parpol koalisi tidak otomatis berkelindan dengan hasil Pilpres.
Membahas sebaran suara Pilpres, karena menganut prinsip popular vote, mesti diakui Pulau Jawa dengan penduduk terbesar adalah battleground sebenarnya. Boleh saja satu paslon menang di pulau besar lainnya, tapi kalau kalah telak di Jawa, yang pemilihnya mencapai 115,3 juta atau 56,3 persen dari 204,8 juta DPT, kemenangan hampir pasti lenyap.
Walau satu pulau, warga Jawa Barat secara umum tidak merasa bagian dari “Jawa” secara kultural. Yang benar-benar merasa “Jawa” adalah penduduk Jawa Tengah dan Jawa Timur dan, karena itu pula, pemilih di dua daerah ini memiliki sejumlah kesamaan. Satu yang menonjol adalah tradisi keagamaan, yakni sama-sama basis tradisional dengan identitas NU yang menonjol, dan nasionalis. Dalam trikotomi Clifford Geertz, dua daerah ini secara kultural juga termasuk kategori abangan, bukan santri.
Pada Pemilu 2019, mengutip data KPU, PDIP meraup 27,05 juta suara (19,33 persen) suara sah nasional, dengan Jawa Tengah menyumbang 5,77 juta suara atau 21,32 persen suara sah nasional. Lumbung suara PDIP berikutnya adalah Jawa Timur dengan 4,32 juta suara, disusul Jawa Barat (3,51 juta) DKI Jakarta (1,63). Untuk di Jawa Timur, PDIP ditempel ketat PKB, yang kini mencalonkan Muhaimin sebagai cawapres Anies, dengan mendulang 4,2 juta suara, diikuti Gerindra 2,41 juta suara.
Menimbang data itu, yang dapat dipakai amunisi menambal kekurangan kubu Ganjar adalah siapa cawapresnya. Melihat tipologi pemilih di Jawa Timur yang masih kuat berbasis kiai-santri, pilihan logis bagi Ganjar adalah bagaimana menandingi popularitas Cak Imin. Apalagi sejak awal Cak Imin dan PKB mengidentikkan diri dengan Nahdliyin, pesantren dan Islam. Untuk menang, pemilihan cawapres tidak cukup bermodal popularitas dan eletabilitas, tapi harus jelas seberapa besar menambah raupan suara.
Dari sejumlah nama, pilihan di meja Ganjar saat ini yang mengilap adalah Mahfud MD: orang Jawa Timur etnis Madura, punya darah Nahdliyin, berpengalaman di legislatif dan eksekutif sebagai simbol PKB, tahu jeroan dan kultur PKB. Untuk popularitas, Mahfud malah lebih mentereng dibanding Cak Imin.
Secara rekam jejak, Mahfud tidak pernah jadi pasien KPK, meski sebatas sebagai saksi, apalagi tersangka. Mahfud juga tidak pernah tercatat “mengkudeta” Ketua Umum partainya, sebagaimana dituduh dilakukan Cak Imin kepada Gus Dur tahun 2008. Bahwa Mahfud gagal menjadi cawapres pendamping Jokowi tahun 2019 karena Golkar di barisan koalisi tidak suka, penghalang itu sudah tidak ada karena Golkar kini mengelus Prabowo.
Kilas balik ke 2014, PDIP dikenal paling cerdik dan lentur dalam permainan panggung depan. PDIP tidak segan membalik semua prediksi dengan mempertimbangkan perkembangan detik-detik akhir, meski itu dianggap tidak populer. Keputusan memilih Ma’ruf Amin dan menepikan Mahfud MD pada Pilpres 2019, adalah contoh nyata bagaimana dingin dan rasionalnya elite PDIP menentukan jalan meraih kemenangan. Cuma, apakah strategi serupa dapat diterapkan kembali, hanya waktu yang akan menjawab.
Tetapi, persoalan lebih kompleks tinimbang memilih cawapres adalah bagaimana tetap bersama ketika kelak berkuasa. SBY tidak akur kemudian dengan JK usai Pilpres 2004, dan beralih ke Boediono pada Pilpres 2009. Jokowi cuma tahan satu periode dengan JK, sebelum kemudian “pasrah” juga diduetkan dengan Ma’ruf Amin.
Sejarah itu menunjukkan duet capres-cawapres kita sejatinya bukan karena kesamaan visi, sekadar karena kesamaan kepentingan belaka. Seindah apa pun kata ditata saat mendeklarasikan paket capres-cawapres, semua akan berlalu ketika berkuasa. Sebab, capres dan cawapres punya agenda sendiri-sendiri, sesuai proposal yang diajukan partai pengusung ketika negosiasi pencalonan. Situasi ini, meminjam pendapat Prof. Salim Haji Said, ibarat presiden terpilih dikejar debt collector, yakni partai dan oligark yang membiayai saat kampanye dan kontestasi.
Lihat saja bagaimana canggung Jokowi tahun 2014 karena tidak leluasa memilih calon menteri, berhubung harus “sangat mempertimbangkan” usulan KMP alias Kalla, Mega, Paloh. Jokowi dibutuhkan hanya karena dia populer. Setelah itu, kepentingan partai yang mesti diutamakan, bukan visi-misi Jokowi saat kampanye. Baru setelah periode kedua, Jokowi berani agresif menunjukkan siapa diri dan agenda besar politiknya, meski tak jarang harus berseberangan dengan PDIP dan Mega.
Melihat barisan koalisi Ganjar sejauh ini hanya PDIP dan PPP, kemungkinan resistensi cawapres yang disukai Ganjar juga relatif kecil. Di sisi lain, meski koalisi pendukung Prabowo sangat gemuk, tapi karena Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra, sebagai patron, ditunjang elektabilitas dan pengalaman bertanding tiga kali, maka resistensi ketika dia memutuskan cawapres juga relatif kecil. Kalaupun ada masalah, hanya menyesuaikan apa tagline koalisi , menyusul bergabungnya Demokrat yang kencang menyuarakan “Perubahan”, yang baru cerai dengan koalisi Anies-Muhaimin. Gus Hendra